DEMOKRASI.CO.ID - Rencana pemerintah untuk membahas dan menata ulang ideologi negara dalam sebuah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menuai banyak pertentangan.
Salah seorang tokoh Muhammadiyah yang sempat menjadi anggota Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari, juga turut menjadi orang-orang yang tidak sepakat jika Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara diubah-ubah.
"Kalau kata Muhammadiyah, negara Pancasila itu sebagai tempat kita melalukan konsensus. Nah, konsesnus nasional ini sudah selesai 18 Agustus 1945. Sudah, itu jangan diutak-atik lagi," ujar Aidul dalam diskusi virtual Smart FM bertajuk 'Habis RUU HIP Terbitlah RUU BPIP, Sabtu (18/7).
Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta ini berpandangan, secara sosial keberadaan RUU HIP memberikan sumbangsih positif terhadap diskursus politik yang ada di Indonesia.
"Bahwa kita harus bersyukur dengan ribut-ribut RUU HIP ini maka orang yang anti Pancasila, tidak peduli dengan Pancasila, sekarang semuanya terlibat membicarakan Pancasila. Jadi ini seperti gravitasi politik yang menarik semua kalangan ke dalam satu jalur," ungkapnya.
Namun secara ideologis, RUU HIP tidak bisa dia terima, mengingat ideologi negara telah dirampungkan oleh para founding father dan tidak bisa ditawar menawar.
Justru yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memperkuat ideologi Pancasila untuk bisa dipahami dan diimplementasikan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
"Kita sekarang bicara ke depan dengan persaksiaan kita di dalam mengisi negara ini dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks inilah maka perdebatan, atau bahkan mungkin perseteruan terkait RUU HIP ini menjadi penting kita lihat sebagai bentuk persaksian kita terhadap negara pancasila ini," harapnya.
"Dan itu patut disyukuri," demikian Aidul Fitriciada Azhari menambahkan. []