DEMOKRASI.CO.ID - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya terdiam melihat Presiden Joko Widodo melakukan politik transaksional dalam proses mendapatkan rekomendasi PDIP untuk pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon Walikota Solo.
Hal ini menuai komentar darri publik di media sosial Twitter, karena Jokowi nampak mempertontonkan upaya melanggengkan politik dinasti di Indonesia.
Persoalan inilah yang bahkan juga dikomentari oleh Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA) Said Salahudin, saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (18/7).
"Mestinya PSI memanfaatkan momentum (pencalonan) Gibran ini untuk meyakinkan publik bahwa komitmen mereka yang menolak politik dinasti tetap mereka pegang," ujar Said Salahudin.
Bahkan, lanjut jebolan Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini, proses pencalonan Gibran ini adalah momentum bagi PSI untuk bisa membesarkan partainya sekaligus untuk meyakinkan publik bahwa partainya teguh memegang prinsip.
"Tapi kan karena dia memiliki kader-kader yang duduk di pemerintahan, di eksekutif. Tentu dia berpikir dua kali untuk misalnya menyoal proses pencalonan Gibran dalam konteks dinasti tadi," tuturnya.
Prinsip menolak dinasti politik yang disampaikan Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni pada tahun 2015 silam tersebut, menurut Said Salahudin hanya menjadi bualan belaka.
Saat ini sepertinya PSI terkesan takut mengkritik Presiden yang ikut andil memuluskan pencalonan putra sulungnya tersebut.
"Kalau ingin menolak dia khawatir berdampak ke kader-kadernya di pemerintahan bisa saja di reshuffle. Tapi untuk mengatakan menerima (takut) dianggap banci, tidak konsisten dengan dulu menolak sekarang menerima," katanya.
"Akhirnya dia mengambil sikap aman, yaitu dengan diam. Nah saya mau bilang diam itu artinya setuju. Jika setuju artinya tidak konsisten,"demikian Said Salahudin. (*)