DEMOKRASI.CO.ID - Mantan Ketua Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif, menguliti titik rawan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang akkhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan publik. Ia menyoroti pasal 6 ayat 1 RUU tersebut yang menyebut sendi pokok pancasila adalah keadilan sosial.
Kemudian pasal itu disusul pasal 7 ayat 1 menyebutkan ciri pokok pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan atau demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. Kemudian, ayat 2 menyebut ciri pokok pancasila adalah trisila yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Trisila dalam ayat 3 terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Menurut Yudi, hubungan antarpasal dan antarayat saling bertubrukan. Menyebutkan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila, pemerasan Pancasila ke dalam trisila dan terutama ke dalam ekasila menjadi problematik.
“Itu bisa menimbulkan kesan bahwa Pancasila ditempatkan di jalur materialisme. Ini berbeda dengan jalur pernyataan Soekarno pada 1 Juni 1945,” ucap Yudi dalam tulisannya berjudul Titik Rawan RUU HIP, hari ini (15/6).
Dia mencertiakan, saat Bung Karno menawarkan konsep Ekasila pada para pendiri bangsa yang lain. Tapi yang menjadi catatan adalah tawaran Bung Karno itu bukan suatu kemestian bahwa dari lima sila arus diperas menjad tiga atau satu. Bung Karno hanya menawarkan berbagai pilihan konseptual untuk merumuskan dasar simplisitas dan kompleksitas nilai dasar negara.
Hal itu dalam rangka menyederhankan hal-hal yang rumit dengan menangkap esensi pokok, sehingga lebih mudah diingat dan dipraktikkan. Namun, masalahnya adalah semakin sederhana suatu rumusan konseptual, maka makin abstrak.
“Seperti tulisan esai (prosa) ketika menjadi puisi, maka setiap kata itu menjadi padat makna dan multiinterpretatif. Mutu objektivitas (keluasan makna) rumusan abstrak itu pun sangat tergantung kekayaan subyektivitas seseorang,” ucapnya.
Yudi Latif menjelaskan, tawaran Presiden Soekarno kepada para pendiri bangsa terkait pancasila yang disederhanakan menjadi Ekasila pada 1 Juni 1945. Menurut dia, pancasila itu menyangkut nilai-nilai pergaulan hidup (muamalah) dalam kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Sementara, nilai-nilai ubudiyah (keyakinan-keimanan, penyembahan dan peribadatan) menjadi urusan rumah tangga agama atau keyakinan masing-masing. Dalam pandangan Bung Karno, perwujudan paling Konkret semangat ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial tercermin dalam praktik gotong-royong atau Ekasila.
“Bukan berarti bahwa dengan diperas menjadi gotong-royong maka sila-sila yang lain menjadi lenyap. Akan tetapi, kelima sila Pancasila itu harus dinapasi oleh semangat gotong-royong. Sebagai konsepsi teoritik, perasan Soekarno dari lima sila menjadi trisila dan ekasila itu absah, bahkan bisa memperkaya insight. Bung Karno tidak berpretensi untuk memaksakan,” ucapnya. []