DEMOKRASI.CO.ID - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut RUU Omnibus Law Cipta Kerja menempatkan pejabat kepala daerah, baik gubernur, bupati, hingga wali kota di bawah presiden.
Asfinawati mengatakan RUU ini memberi kewenangan yang sangat luar biasa kepada pejabat presiden dalam tata kelola pemerintahan.
"Kepala daerah menjadi bawahan presiden, secara implisit," kata Asfinawati, Jumat (19/6).
Kewenangan luar biasa presiden yang dimaksud Asfinawati itu tercantum dalam Bab XI tentang Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.
Pasal 164 RUU Cipta Kerja menyebut posisi pemerintah daerah adalah pelaksana kewenangan presiden. Pemda ditempatkan sejajar dengan menteri dan kepala lembaga.
"Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden," bunyi pasal 164 RUU Cipta Kerja seperti dikutip dari draf resmi yang didapat dari situs dpr.go.id.
Kemudian pasal 166 RUU Cipta Kerja juga merombak sejumlah aturan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Salah satu aturan yang diubah adalah status peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada) pada pasal 251. Perda dan perkada bisa dibatalkan pemerintah pusat jika dianggap bertentangan.
"Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden," bunyi pasal 251 ayat (2) yang diubah oleh pasal 166 RUU Cipta Kerja.
Pasal 252 UU Pemda juga diubah dalam RUU Cipta Kerja. Dalam draf RUU itu, pasal 252 ayat (1) mengatur pemda yang masih menerapkan perda yang bertentangan dengan pemerintah pusat bisa dijatuhkan sanksi.
Sanksi yang diberikan berupa penghapusan hak keuangan selama tiga bulan bagi kepala daerah dan anggota DPRD. Jika pemda masih tak patuh, maka pemerintah pusat akan menunda ataupun memotong dana bagi hasil (DBH) dan/atau dana alokasi umum (DAU).
YLBHI bersama sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Kerja menyatakan penolakan mereka terhadap RUU ini. Pada Minggu (1/3) lalu, Koalisi menyatakan tiga tuntutan terhadap RUU Cipta Kerja.
Koalisi meminta Presiden menarik RUU Cipta Kerja dan Supres yang telah dikirim ke DPR, meminta DPR menolak membahas RUU Cipta Kerja, serta meminta para akademisi berhenti menggadaikan ilmu yang dimilikinya dengan ikut dalam pembahasan.
Hingga saat ini, Baleg DPR RI masih terus melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sejak pembahasan dimulai di Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (2/4), sudah ada 15 kali rapat pembahasan RUU usulan pemerintahan Presiden Joko Widodo itu. []