DEMOKRASI.CO.ID - Langkah menarik perwira tinggi TNI/Polri dalam struktur komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan Menteri BUMN, Erick Thohir sama saja memundurkan demokrasi.
Ini langkah mundur demokrasi dan bertentangan dengan semangat-semangat tata negara, Tap MPR, dan juga UU TNI dan UU Kepolisian," kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Mohammad Isnur dalam keterangan tertulisnya, Minggu (21/6).
Menurut dia, pendekatan keamanan yang dilakukan negara akan berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Terlebih, masih maraknya konflik agraria seperti perampasan lahan, tambang, dan perkebunan di sejumlah tempat yang menurut catatan YLBHI masih ada dugaan keterlibatan anggota TNI/Polri.
"Bahkan dalam kondisi pandemik, YLBHI mencatat TNI/Polri juga terlibat sebagai 'aktor' dominan perampasan lahan di tengah pandemik. Setidaknya ada 16 kasus dari Sumatera hingga Papua, 50 persen di antaranya terkait dengan TNI, baik sebagai beking, ataupun terlibat langsung. Sedangkan Polri terlibat pada 75 persen kasus perampasan lahan," bebernya.
Hal senada juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Setara Institute, KontraS, LBH Jakarta, HRWG, dan Imparsial. Koalisi mendesak Menteri BUMN untuk mengevaluasi kebijakan menempatkan TNI/Polri aktif di dalam jabatan sipil dalam hal ini jajaran BUMN.
Pengangkatan perwira TNI-Polri dalam jajaran BUMN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya UU 34/2004 tentang TNI (UU TNI) dan UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Atas dasar itu, Koalisi juga mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjalankan reformasi TNI/Polri sebagaimana amanat reformasi. Sebab, pengangkatan TNI/Polri aktif ke ranah sipil seolah tidak sejalan dengan upaya reformasi TNI-Polri karena dianggap menarik-narik TNI-Polri kembali “berbisnis” sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.
"Presiden harus jalankan reformasi TNI dan Polri secara konsekuen sebagaimana amanat reformasi, Tap MPR, UU Polri dan UU TNI," ujar peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie.(rmol)