DEMOKRASI.CO.ID - Wacana pengkajian ulang materi fiqih di madrasah oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar menuai kritik. Salah satunya dari Ketua Umum DPP Front Santri Indonesia (FSI), Habib Muhammad Hanif Al Athos.
Dia menjelaskan, fikih adalah hasil istinbath (pengambilan hukum) para ulama mujtahid mutlaq dari sumber-sumber hukum, seperti Alqur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Hukum-hukum hasil Istinbath tersebut dikembangkan oleh ulama generasi berikuynya (mujtahid madzhab, mujtahid tarjih, mujathid fatwa) dengan sangat teliti dan hati-hati tanpa keluar dari metodologi yang digariskan oleh Imamnya.
“Kyai dan Pesantren harus waspada, ada yang mau obok-obok kurikulum pesantren dengan dalih deradikalisasi,” kata Habib Hanif sapaan akrabnya, Kamis (11/6).
Padahal, dia mencontohkan seperti Imam Syafi’i dengan sanad keiImuan yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Dari situlah asal usul kitab-kitab Fikih yang dipelajari diberbagai pesantren saat ini.
“Jadi kalau ada profesor yang mengatakan kitab fikih saat ini adalah produk Perang Salib, maka profesor tersebut perlu mondok lagi di pesantren agar cerdas dan tidak gagal faham soal sejarah fikih serta proses lahirnya hukum fikih,” ujarnya.
Sebelumnya, Nasaruddin mengusulkan pemerintah untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pondok pesantren jika hendak menangkal paham radikalisme. Nasaruddin mengatakan pelajaran fikih yang ada saat ini masih produk era Perang Salib, sehingga masih mempertentangkan negara Islam dengan negara bukan Islam.
“Kitab-kitab fikih yang kita pelajari sebetulnya produk-produk, sebagian besar produk Perang Salib. Maka itu konsep kenegaraan itu masih ada Darus Silmi, negara Islam. Kalau bukan negara Islam, berarti Darul Harb, negara musuh,” kata Nasaruddin dalam diskusi di Kantor BNPT, Jakarta, Rabu (10/6) dikutip dari CNN.
Ia menjelaskan fikih era Perang Salib mengusung tiga konsep negara, yaitu darul Islam, darul Harb (negara musuh), dan darul sulh (negara yang tidak menganut Islam, tetapi bersahabat). Dia berpendapat konsep itu sudah tidak relevan saat ini, karena saat ini sudah tidak ada lagi negara di dunia yang mencerminkan ciri-ciri dari konsep fikih itu.
“Sekarang kan kita enggak ada lagi, siapa yang mau dikategorikan darul harb? Siapa yang bisa jadi contoh negara Islam? Justru negara Islam yang babak belur di mana-mana, Afghanistan tiada hari tanpa peperangan, Suriah, Irak, Libya,” ucapnya.
“Harus diakui masih ada yang perlu kita benahi bersama,” imbuhnya. (*)