DEMOKRASI.CO.ID - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang praperadilan Ruslan Buton yang sempat ditunda pekan lalu. Dalam persidangan kali ini, pihak Ruslan menghadirkan 7 orang saksi.
Salah seorang saksi, Zulkarnain menilai tidak ada yang salah dengan surat terbuka yang dibuat oleh Ruslan untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia mengaku sudah 3 kali mendengarkan rekaman suara Ruslan.
Adanya kalimat Ruslan yang menganggap pemerintahan saat ini kacau balau dalam menghadapi Covid-19 pun dianggap tidak salah. Baginya, kalimat tersebut sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
“Emang kenyataan (Indonesia amburadul), bahwa negara kita yang dipimpin sebelum pak Presiden kita Jokowi, pak SBY tenang-tenang saja, bu Mega tenang-tenang saja,” kata Zulkarnain dalam persidangan, Jumat (19/6).
Atas dasar itu, Zulkarnain menilai Ruslan seharusnya tidak perlu ditahan. Jika memang ada perbuatannya yang salah, sebaiknya dipanggil untuk klarifikasi terlebih dahulu.
Di sisi lain, baginya surat terbuka Ruslan tidak memberikan dampak buruk bagi situasi politik Indonesia. Hal itu terbukti dari tidak adanya kekacauan maupun demo pelengseran Presiden setelah surat terbuka tersebut viral.
“Tidak ada (kekacauan). Presiden yang jelas 2024 turun kenapa mesti dijatuhkan, tidak ada yang menjatuhkan Presiden Jokowi. Ruslan kan hanya memperingatkan, itu hak rakyat. Kita sebagai rakyat mendukung karena negara ini memang kacau balau,”ucao Zulkarnain.
Sebelumnya, Ruslan Buton ditangkap polisi pada Kamis (28/5) siang. Dia diduga digelandang polisi akibat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana salah satu poinnya meminta agar Jokowi mundur. Dia merasa kepada Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19. Dia bahkan sempat berujar tidak menutup kemungkinan ada revolusi rakyat jika Jokowi tak kunjung melepas jabatannya.
Kabar penangkapan ini dibenarkan oleh Kepala Penerangan Komando Resimen Militer (Kapenrem) 143/Kendari, Mayor Sumarsono. “Ya (Ruslan Buton ditangkap) dari berita kita tahunya juga,” kata dia kepada JawaPos.com, Kamis (28/5).
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan ancaman pidana 6 tahun dan/atau Pasal 207 KUHP, dengan ancaman penjara 2 tahun. []