Oleh: Hersubeno Arief*
TAK ada angin tak ada hujan, PDIP tiba-tiba menyatakan menolak usulan pemerintah Amerika Serikat (AS) memindahkan ibukota Palestina ke Abu Dis.
"PDIP tidak setuju dengan usulan tersebut karena justru hadir sebagai bentuk ketidakadilan baru," ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam rilis yang disebar ke media, Kamis (18/6).
Sikap partai, lanjut Hasto, konsisten dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Sesuai spirit Dasa Sila Bandung.
Pernyataan Hasto yang terkesan ujug-ujug, sekonyong-konyong itu tentu membuat kita sejenak bingung. Ada apa ini?
Bukankah isu pemindahan ibukota Palestina ke Abu Dis - sebuah desa dekat Yerusalem Timur ini - merupakan isu yang sudah cukup lama?
Usulan itu muncul bersamaan dengan keputusan Israel memindahkan ibukotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Dari tracking media, Presiden Jokowi pada tanggal 17 Desember 2017 sudah menyerukan agar negara-negara anggota organisasi konferensi Islam (OKI) menolak dan mengecam keputusan Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Jadi isu itu sudah heboh lebih dari dua tahun lalu. Yang menjadi isu utama pemindahan ibukota Israel. Bukan usulan Abu Dis menjadi ibukota masa depan Palestina.
Abu Dis hanya isu kembangan. Mengalihkan tuntutan rakyat Palestina bahwa Yerusalem adalah ibukota sah Palestina. Ya semacam gula-gula dari AS dan sekutunya, termasuk Arab Saudi, bagi rakyat Palestina.
Dari sisi media, rilis Hasto itu sesungguhnya tidak layak berita. Karena tidak aktual. Dari teknis media tidak ada newspegnya. Tidak ada cantolan berita. Bahasa mudahnya, ya masuk kategori berita yang ujug-ujug tadi.
Kalau mau aktual, harusnya PDIP memilih isu keputusan Donald Trump memberlakukan UU Hak Asasi Manusia Etnis Uighur. UU itu baru disetujui Trump pada tanggal 7 Juni 2020.
Itu baru keren. Baru gagah. Pasti liputannya lumayan besar, dan akan mendapat banyak dukungan.
Melalui UU itu pemerintah AS diberikan kewenangan untuk mendeteksi pejabat China yang bertanggung jawab atas "penahanan paksa, penyiksaan, dan kekerasan" terhadap kaum Uighur dan minoritas lainnya.
Kelihatannya berita yang muncul sekonyong-konyong itu erat kaitannya dengan kontroversi RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP).
RUU usulan PDIP itu sekarang ini ditolak oleh warga sak-Indonesia. Termasuk Presiden Jokowi!
Isu Palestina dipilih, walau tidak aktual tapi relatif lebih aman. Keuntungan lain bisa dikait-kaitkan dengan Bung Karno yang rumusan Pancasilanya coba dimasukkan kembali dalam RUU HIP.
Sementara isu Uighur, walau aktual jelas langsung menyinggung Cina. Bohir yang sedang membiayai berbagai infrastruktur di Indonesia.
Banyak kepentingan politik di negara tirai bambu itu. Juga kepentingan oligarki yang didominasi para taipan.
Tujuan dan target politik yang ingin dicapai sudah bisa diduga. Tidak terlalu sulit membacanya.
Pertama, PDIP ingin mengajuk hati rakyat, khususnya umat Islam. PDIP bukan musuh umat Islam. Justru mendukung sepenuhnya sikap umat Islam dan para pegiat HAM. Sikap AS harus dikecam. Harus dilawan. Jadi musuh bersama.
Kedua, memulihkan kerusakan politik yang sudah terjadi.Tidak benar bahwa PDIP anti agama. Tidak benar PDIP mendukung kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).
Beberapa hari sebelumnya Ahad (14/6) Hasto juga membuat rilis. PDIP setuju mencantumkan TAP MPRS No XXV tahun 1966 Tentang Larangan PKI, dan menghapus pasal yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila.
Hanya saja PDIP masih mencoba menawar.
Partainya, kata Hasto, menyetujui penambahan klausul larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme- komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme.
Coba perhatikan frasa kata radikalisme dan khilafahisme. Frasa itu dimasukkan berbarengan dan sejajar dengan marxisme-komunisme.
Selama ini umat Islam merasa radikalisme-khilafahisme merupakan frasa yang digunakan pemerintah dan khususnya PDIP untuk memojokkan. Membuat umat Islam seakan-akan anti Pancasila.
Pasti banyak yang belum lupa ketika memperingati Pekan Pancasila bersamaan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2017 muncul slogan "Saya Pancasila, Saya Indonesia".
Slogan ini diperkenalkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dalam status di akun Instagram-nya pada 26 Mei 2017.
Tagar #SayaPancasilaSayaIndonesia bergema dimana-mana. Kampanye ini dirancang oleh Badan Ekonomi Kreatif.
Sekarang yang terjadi malah terbalik. Melalui RUU HIP justru PDIP yang mendegradasi Pancasila. Dari sumber segala sumber hukum, diturunkan derajatnya hanya sekelas UU.
Ikut Buang Badan
Kontroversi RUU HIP ini benar-benar membuat PDIP babak belur. Dalam Bahasa Rocky Gerung "Banteng sedang kejeblos gorong-gorong".
Bukan hanya parpol pendukung pemerintah yang balik badan menarik dukungan. Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD mengembalikan RUU itu ke DPR.
Presiden Jokowi malah melangkah lebih jauh. Dia bertindak cepat, bertemu sejumlah senior purnawirawan TNI di Istana Bogor, Jumat (19/6).
Para purnawiran TNI-Polri dipimpin mantan Wapres Try Sutrisno menolak RUU HIP. Tidak dicantumkannya TAP MPRS tentang larangan PKI membuat tanduk para senior TNI langsung berdiri.
PDIP dinilai sudah nekad menabrak The biggest taboo. Isu PKI ini benar-benar tidak boleh dilanggar.
Kepada para purnawirawan, Jokowi menegaskan "Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR, jadi pemerintah tidak ikut campur sama sekali," ujarnya dikutip dari rilis Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
Pemerintah juga dengan tegas menutup pintu terhadap komunisme. "Pemerintah tidak pernah ragu," tegasnya.
Langkah politik dan pernyataan Jokowi ini merupakan pukulan telak dan beruntun bagi PDIP.
Kalau melihat gaya politik Jokowi, ada kemungkinan Jokowi juga akan segera bertemu dengan ormas-ormas keagamaan dan elemen penting penentang RUU HIP. Meredam gejolak, dan - meminjam istilah anggota DPR dari PDIP Aria Bima - buang badan.
Banteng moncong putih itu benar-benar ditinggalkan sendirian oleh sekutunya. Yang lebih menyedihkan kini "petugas partai' yang ditempatkannya sebagai presiden juga memilih posisi berseberangan.
Inilah untuk pertamakalinya Jokowi menyatakan secara terbuka menentang sikap dan pilihan politik PDIP. Sebaliknya PDIP tampaknya juga sudah tampaknya mulai gerah dengan Jokowi.
Bila kita cermati dari empat poin rilis Hasto soal Palestina, detil-detil poinnya merupakan sindiran halus kepada Presiden Jokowi.
Hasto menggunakan pintu masuk isu Palestina untuk megembalikan ingatan publik saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dan kaitannya dengan Pancasila.
Saat itu Indonesia dengan semangat politik yang bebas aktif, berperan besar dalam berbagai gerakan menentang imperialisme dan mewujudkan perdamaian dunia.
Saat dunia mengalami krisis, muncul ketegangan di berbagai belahan dunia, maka seharusnya Indonesia mengambil peran. Sebuah peran yang pernah dimainkan oleh Bung Karno.
Sayangnya dalam penilaian Hasto, saat ini energi bangsa lebih banyak terkuras ke dalam. Penuh hiruk pikuk siapa dapat apa.
Semangat outward looking sebagaimana pernah digelorakan dan diperankan Bung Karno harus dikembalikan. Indonesia harus kembali mengambil tanggung jawab tersebut.
"Sebab di tengah berbagai sikap dan tindakan elite yang terlalu melihat ke dalam, energi bangsa terkuras dan melupakan tanggung jawab Indonesia bagi dunia," tegas Hasto.
Kritik atau tepatnya otokritik Hasto sangat pas menggambarkan posisi Indonesia di bawah Jokowi.
Situasi politik dalam negeri hiruk pikuk dengan isu-isu yang memecah belah bangsa. Contoh terbaru adalah kontroversi RUU HIP.
Peran Indonesia dalam kancah internasional benar-benar mundur ke belakang.
Boro-boro menjadi pemimpin dunia. Presiden Jokowi bahkan tercatat lima kali berturut-turut tidak hadir dalam Sidang Majelis Umum Dewan Keamanan PBB.
Apakah krisis politik akibat RUU HIP ini akan menjadi langkah awal yang nyata pecah kongsi PDIP-Jokowi?
*) Penulis adalah pemerhati sosial dan politik.