DEMOKRASI.CO.ID - Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai alasan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold untuk menghindari banyaknya kontestan di pemilu, sangat tidak masuk akal.
"Presidential Threshold, salah satu klaimnya adalah kalau nanti dihilangkan maka jumlah Calon Presiden banyak banget. Respon saya, emang kalau banyak kenapa?" ujar Refly Harun dalam diskusi virtual bertema Ambang Batas Pilpres, Kuasa Uang dan Presiden Pilihan Rakyat yang diselenggarakan Voice for Change.
Refly Harun meyakini banyaknya Calon Presiden akan tersisih secara otomatis saat kontestasi telah berlangsung karena konstitusi telah menetapkan pemilu presiden hanya terlaksana dalam dua putaran.
"Jadi kalau putaran pertama tidak memperoleh 50 persen plus satu persebaran di daerah, maka kemudian diadakan putaran kedua," tutur Refly Harun.
Refly menepis anggapan apabila pasangan Calon Presiden dan wakil banyak, maka pemilu akan berlangsung lama. Padahal kenyataannya kata dia, tidak demikian karena telah ditentukan hanya dua putaran saja.
"Siapa yang menang? Berapa jumlahnya? Yang terbanyak dari calon lainnya, maka dia terpilih sebagai presiden dan wakil presiden," kata Refly Harun.
Refly Harun yakin jumlah pasangan Calon Presiden dan wakil presiden tidak akan berjumlah terlalu banyak karena untuk menjadi peserta pemilu harus diusulkan partai politik atau gabungan partai.
"Jadi saya mendesak partai untuk menghapuskan Presidential Threshold semaksimal mungkin. Presidential Threshold ini, hanya digunakan cukong-cukong politik untuk menguasai partai politik," kata Refly Harun.
Akademisi Rocky Gerung dan Zainal Arifin Mochtar berencana mengajukan permohonan uji materi terhadap Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Rencana gugatan tersebut didukung oleh petinggi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid. Melalui akun Twitter @hnurwahid, Hidayat mengatakan ketentuan tersebut memang pantas untuk digugat karena tidak sesuai dengan konstitusi dasar.
"Layak digugat, karena tak sesuai dengan UUDNRI 1945 Pasal 6A ayat 2," kata Hidayat.
Fraksi PKS DPR, kata Hidayat, sejak dulu menolak. Bahkan, pernah sampai walk out dari sidang untuk menolak presidential treshold 20 persen itu.
"Karena kekhawatiran yang nanti terbukti. Rasional, moderat dan adilnya kalau ketentuan soal itu disamakan saja dengan ketentuan soal parliementary treshold," katanya.
Menjawab saran netizen agar anggota DPR dari PKS ikut mengajukan permohonan uji materi ke MK karena kalau berjuang di DPR kemungkinan kalah suara, secara diplomatis Hidayat mengatakan: Sebagai partai, insyaAllah kami siap untuk bela kepentingan umat dan bangsa. Tentu sesuai dengan kewenangan dan aturan perundangan."
Tapi sayangnya, kata Hidayat, MK sudah membuat keputusan yang tidak memberikan hak kepada partai untuk ikut ajukan judicial review ke MK.
"Terkait dengan gugatan (JR) ke MK oleh rekan-rekan, kami mendukung," kata dia.
Rencana tersebut disampaikan Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi bertema Ambang Batas Pilpres dan Ancaman Demokrasi yang berlangsung Jumat (5/6/2020). Dalam laporan RMOL yang dikutip AKURAT.CO, keputusan hakim konstitusi yang menolak judicial review yang diajukan pada 2018 dinilai Zainal Arifin Mochtar bukan merupakan keputusan hukum, melainkan politik. Menurut dia, keputusan ketika itu tidak ada logika hukum.
Sedangkan menurut Rocky Gerung lembaga MK mestinya menjadi lembaga penegak demokrasi, tetapi justru menjadi seperti terbelenggu oleh kepentingan sejumlah kelompok. Treshold dalam sistem parlementer, kata dia, tidak dibutuhkan karena membatasi partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi. "Gak boleh ada treshold dalam sistem presidential. Ikut kami mengujikan UU Pemilu soal treshold. Ini adalah gerakan yang mengharuskan karena ada masalah demokrasi, yang terjadi sekarang ini," kata Rocky. []