Namun langkah pemerintah tersebut menuai kritik dari banyak pihak karena besarnya biaya rapid test yang harus dikeluarkan.
"Komersialisasi dan bisnis di tengah wabah, itu bisa dianggap kejahatan yang sulit dimaafkan," ujar ahli epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Pandu Riono melalui akun Twitter pribadinya, Minggu (28/6).
Pandu melanjutkan, sejumlah oknum memanfaatkan ketakutan dan kepanikan penduduk yang terjadi saat ini untuk mengeruk keuntungan.
"Dan seringkali memanfaatkan celah regulasi," sambungnya.
Menurutnya, sampai dengan sekarang, masih banyak korban yang berjatuhan akibat wabah Covid-19. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang terpaksa meregang nyawa dan tidak tidak terdata.
Dana penanganan Covid-19 di Indonesia disebutkan mencapai hampir Rp 700 triliun. Namun fakta memperlihatkan bahwa dana rapid test tidak semua tertanggung oleh anggaran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan.
Hal itu lantaran, anggaran yang diberikan oleh pemerintah hanya kepada rumah sakit yang ditunjuk pemerintah untuk menjalankan rapid test.[rmol]