DEMOKRASI.CO.ID - Awal bulan Juni ini masyarakat kembali dikagetkan dengan tagihan listrik yang kembali membengkak hingga 100 persen dari tagihan 3 bulan sebelumnya.
Misalnya di Pekanbaru, Riau, masyarakat melayangkan aksi protes di depan kantor PLN masing-masing rayon wilayah.
Kebanyakan masyarakat menganggap kenaikan tagihan listrik yang mereka alami tak masuk akal. Mereka rerata pelanggan listrik dengan tegangan ampare 2.200 VA mengalami kenaikan hingga lebih dari Rp 1 juta, dari yang awalnya hanya membayar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta lebih.
Fenomena ini pun mendapat sorotan dari Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus) Gde Siriana Yusuf. Menurutnya, rakyat berhak melakukan tuntutan kepada PLN atas membengkaknya tagihan listrik mereka, tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu dan alasan yang jelas.
"Masyarakat dapat melakukan class action atau bahkan tuntutan penipuan terhadap PLN terkait kenaikan tagihan yang drastis," ujar Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (8/6).
Lebih lanjut, Gde Siriana menilai alasan PLN atas kenaikan tagihan listrik di tengah situasi pandemik virus corona baru atau Covid-19 tidak masuk di logikanya.
Karena, dalil PLN yang menyatakan rata-rata tagihan 3 bulan terakhir pelanggan menjadi acuan dari tagihan bulan Mei tidak akan melonjak hingga 100 persen.
Gde Siriana mencontohkan, jika tagihan bulan Februari mencapai Rp 1 juta, Maret Rp 1,2 juta, dan April Rp 1,5 juta, maka menurutnya tagihan di bulan Mei rata-ratanya ada pada bulan Februari-April, atau tidak akan lebih dari Rp 1,5 juta.
PLN tidak bisa berdalih menggunakan rata-rata 3 bulan terakhir sebagai acuan tagihan bulan Mei. Coba dihitung rata-rata tagihan sejak Februari-April. Logikanya adalah tagihan Mei tidak akan lebih tinggi dari April. Ini yang terjadi tagihan Mei jauh di atas April," ungkapnya.
Lantas, apakah PLN menaikan tarif listrik secara diam-diam? Atau melakukan subsidi silang atas kebijakan subsidi tagihan listrik untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA?(rmol)