DEMOKRASI.CO.ID - Kasus dugaan pencabulan yang terjadi di lingkungan gereja, menggegerkan jemaat Gereja Paroki Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat.
Pelaku pelecehan merupakan pembina tugas pelayanan bagi anak-anak, yang telah bertanggung jawab sejak tahun 2000.
Kasus tersebut baru mencuat akhir-akhir ini, padahal menurut hasil penyelidikan sementara, seorang korban mengaku pernah mengalami pencabulan pada tahun 2006.
Dilansir Kompas.com, Senin (15/6/2020), pendamping hukum para korban, Azas Tigor Nainggolan, menduga adanya beberapa faktor yang membuat kasus ini baru terkuak setelah 14 tahun.
Ia menuturkan adanya dugaan bahwa korban yang masih dibawah umur tidak mengerti bahwa dirinya telah mengalami pelecehan secara seksual.
"Saya melihat ini ada situasi di mana korban tidak tahu bahwa dirinya sedang dilecehkan karena mereka masih anak-anak, paling kecil 11 tahun," ungkap Tigor.
Selain anak, adapula orang tua yang tidak memahami bahwa anaknya telah menjadi korban pencabulan.
Adapun beberapa orangtua yang paham, mengaku merasa malu sehingga malah cenderung menyembunyikan hal tersebut.
"Ketika saya mengobrol dengan orangtuanya, juga orangtuanya kadang tidak ngeh, tidak tahu. Anak-anaknya juga tidak menceritakan ke orangtuanya."
"Kemudian kalau mereka tahu, ada juga orangtua yang takut dan malu," tuturnya.
Sementara ini, total terdapat 11 korban yang disinyalir terkait dengan kasus pencabulan oknum pengurus gereja tersebut.
"Yang mengaku langsung kepada saya, setidaknya yang sudah clear mengaku, ada 6 orang. Tapi, yang masih butuh klarifikasi ada sekitar 5 lagi," lanjut Tigor.
"Dari 6 orang itu, pencabulan terjadi pada periode yang berbeda sejak beberapa tahun ke belakang. Yang saya terima, paling lama kejadian terlacak tahun 2006," jelasnya.
Menurut hasil investigasi yang dilakukan timnya, pelaku berinisial SPM (42) tersebut melecehkan korbannya dengan memberi ancaman.
Ia berdalih mengajak korban untuk membereskan perlengkapan, kemudian memaksa korban dan mengancam tidak akan memberi tugas pelayanan bila anak tersebut menolak.
"Kalau menolak permintaannya si pelaku, mereka diancam, dibilang, 'Kamu tidak akan dapat tugas lagi'," ujar Tigor.
"Ada juga yang kemudian keluar dan tidak aktif sejak kejadian itu. Mereka trauma. Mereka takut. Ada juga yang, misalnya, anak-anak itu menolak diberhentikan sama si pelaku, jadi enggak dikasih tugas lagi," tambahnya.
Senada dengan penuturan Tigor, Kapolres Metro Depok, Kombes Azis Andriansyah membenarkan adanya dugaan pencabulan tersebut sejak bulan Mei 2020.
Namun, kasus tersebut baru kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian, setelah tim investigasi gereja berhasil melakukan penelusuran dan pengumpulan bukti.
"Pada 22 Mei 2020, ada salah satu tempat ibadah yang pengurusnya mengidentifikasi salah satu dari pengurus tempat ibadah itu terindikasi melakukan pencabulan terhadap anak. Dari situ, pihak pengurus tempat ibadah tersebut melakukan investigasi secara internal dulu," papar Azis.
Ia juga membenarkan adanya indikasi pengancaman yang dilakukan pelaku pada korban.
"Sedikit ancaman memang ada, tapi tidak sampai ancaman kekerasan," kata Azis.
"Jadi, korban diundang dan diminta melakukan hal yang tak pantas. Dia ini pura-pura mengajak korbannya berbenah perkakas, tapi justru malah dilakukan pencabulan," terangnya.
Diketahui, kasus tersebut terungkap berawal dari kecurigaan seorang pengurus gereja yang merasa janggal melihat tingkah laku SPM.
Berdasar kecurigaan tersebut, pihak gereja kemudian membuat tim investigasi dan melakukan penelusuran dugaan pencabulan.
Dari situlah kemudian terungkap pengakuan sejumlah korban yang menyatakan telah diperlakukan secara tidak pantas oleh pembina mereka tersebut.
Atas perbuatannya, terduga pelaku terancam dijerat dengan Pasal 82 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. []