Penulis: Hersubeno Arief
Badai politik sedang menerpa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila salah mengelola dan mengantisipasi, bukan tidak mungkin berubah menjadi tsunami politik. Mengancam basis elektoralnya.
Situasinya cukup genting. Ketua Umum PDIP Megawati sudah memerintahkan para kadernya “merapatkan barisan.” Fraksi PDIP menyerukan perlawanan.
Seruan itu dikeluarkan menyusul pembakaran bendera partai oleh massa pengunjukrasa penentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (PDIP) di Gedung MPR/DPR.
Bendera merah dengan simbol kepala banteng moncong putih itu dibakar bersama bendera merah dengan simbol palu arit.
Pengunjukrasa tampaknya secara tegas ingin menyampaikan pesan bahwa PDIP sama berbahayanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai terlarang itu beberapa kali melakukan pemberontakan, namun gagal.
Gerakan perlawanan publik sungguh mengagetkan. Tampaknya tidak masuk dalam kalkulasi politik PDIP sebagai inisiator RUU HIP.
Kemungkinan besar mereka menduga bakal suskes menyelundupkan menjadi UU mumpung publik lengah karena pandemi.
Sebagai partai penguasa, PDIP tengah berlayar dalam segala kemegahannya dan euforia kemenangan.
Bersama-sama partai pendukung pemerintah mereka berhasil menggolkan berbagai UU kontroversial. Mulai dari UU Minerba sampai UU Kebijakan Stabilitas Keuangan Negara.
PDIP kali ini salah hitung. Tanpa mereka sadari, ambisi menghegemoni tafsir politik Pancasila ternyata membangunkan macan tidur.
Isu bangkitnya kembali PKI membuat dua sekutu lama –kalangan umat beragama dan TNI– kembali bersatu.
Mata publik kini juga menjadi lebih terbuka, siapa mereka sesungguhnya dan apa agendanya?
Semakin lama, pendulum politiknya semakin bergerak terlalu ke kiri.
Mengulang kisah lama
Posisi PDIP saat ini mengingatkan kita pada kemelut politik tahun 1965. Kemelut politik yang menjadi penyebab tumbangnya Presiden Soekarno.
Menjelang kejatuhannya, bandul politik ayah Megawati itu bergeser sangat jauh. Dari tengah, ke kiri jauh (komunis).
Dia mencoba menyatukan berbagai elemen kekuatan bangsa dalam sebuah ijtihad politik yang disebutnya sebagai Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunisme).
Setting politiknya hampir sama. Saat itu Soekarno melalui Demokrasi Terpimpin menjadi penguasa tunggal yang otoriter.
Soekarno juga berusaha menjadi penafsir tunggal Pancasila. “Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom. Siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” tegasnya.
Soekarno bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan: “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”
Kekuatan-kekuatan yang menentang ide Nasakom dilabeli oleh Soekarno sebagai kontra revolusi.
Dengan cap kontra revolusi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi dibubarkan. Tuduhannya para tokohnya banyak terlibat dalam gerakan PRRI/Permesta.
Melalui RUU HIP selain ingin merebut kembali hegemoni tafsir Pancasila. PDIP ingin menghidupkan kembali gagasan Soekarno.
Hal itu terlihat dalam rumusan memeras Pancasila menjadi Trisila. Kemudian diperas lagi menjadi Ekasila: Gotong royong. Rumusan itu muncul dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Satu hal lagi yang membuat kekuatan agama dan purnawirawan TNI meradang adalah penolakan PDIP mencantumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP. Dalam Ketetapan MPRS itu PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Wajar jika langkah politik PDIP ini mengundang kecurigaan. Sikap politik PDIP terhadap TAP MPRS ini sesungguhnya cukup jelas.
Sebuah kliping media yang belakangan beredar, menunjukkan pada Sidang Tahunan MPR (2003) PDIP mengagendakan dan akan memperjuangkan pencabutan TAP tersebut. Dasar pertimbangannya adalah HAM (Rakyat Merdeka, 29 Juli 2003).
Kini manuver politik PDIP berubah menjadi prahara. Penolakan memasukan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan memeras Pancasila menjadi Ekasila —kendati sudah dicabut—menghidupkan kembali isu lama: bangkitnya PKI.
Isu yang semula disebut sebagai hantu, dalam benak publik kini menjadi nyata. PDIP identik dan disamakan dengan kebangkitan PKI karena RUU HIP.
Runyam khan?! End (*)