DEMOKRASI.CO.ID - Ketua DPP PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, menyampaikan bahwa usulan Rancangan Undang - Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) merupakan usulan parlemen yang diterjemahkan dari pidato politik Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Saat itu, kata dia, pidato politik itu kemudian diterjemahkan oleh lembaga DPR yang kemudian masuk dalam program legislasi nasional tahun 2020.
"Munculnya gagasan sebuah payung hukum untuk memberikan koridor bagi membumikan pancasila itu lah lahir dari pidato politik resmi Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indoensia untuk memberi penekanan pada pengunaan ideologi Pancasila," kata Basarah di Indonesia Lawyers Club tvOne, Selasa 16 Juni 2020.
Basarah membantah bahwa polemik mengenai RUU HIP khususnya Pasal 7 bukan datang dari partainya. Sebab klausul itu menyebutkan, lima sila Pancasila bakal diperinci menjadi Trisila- Ekasila. Atau polemik lain yang menyebutkan konsep Ketuhanan yang Berkebudayaan.
"Saya katakan untuk alasan etis saya tidak menyebutkan (Fraksi pengusul) itu Pak Karni. Tapi kami wajib menghormati bahwa 9 Fraksi di Badan Legislasi memiliki hak bicara untuk mengemukakan pendapat, pikiran, konsepsi- konsepsi. Dan saya kira itu adalah konsekuensi kita bernegara hukum dan demokrasi," kata Wakil Ketua MPR itu.
Basarah juga bilang, RUU HIP ini bukan untuk menafsirkan kembali Pancasila. Bahkan, kata dia, partainya juga menyetujui konsideran TAP MPRS nomor XXV tahun 1966 tentang larang paham komunisme/marxisme-leninisme masuk dalam RUU HIP.
Menurut dia, wacana yang berkembang itu sudah diputuskan kembali ketika terjadi pembaharuan yakni pada Ketetapan (TAP) MPR Nomor I Tahun 2003.
Saat itu partai berlogo banteng ini setuju tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS sebelumnya. "Tidak ada lagi pintu keluar secara hukum terhadap keberadaan PKI dan ajaran komunisme," ujarnya.
Seperti diketahui, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang saat ini dibahas oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kritik. Fraksi PAN dan PKS menolak RUU tersebut karena tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI sebagai konsideran.
Kemudian beberapa ormas, seperti MUI juga mengkritik RUU HIP karena telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Tahun 1945.
Salah satu bentuknya adalah memeras Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni "Gotong Royong". Menurut MUI, ini nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila itu sendiri.
Selain itu, secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan Sila Pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945 serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)