DEMOKRASI.CO.ID - Persaudaraan Alumni 212 menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) meski pemerintah memutuskan untuk menunda membahasnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Keputusan menunda, alih-alih dibatalkan, itu juga menuai kritik karena sebagian kalangan menganggap pemerintah maupun DPR masih berniat untuk membahasnya di lain waktu.
Jika pemerintah dan DPR masih berkukuh ingin membahasnya sampai disahkan menjadi undang-undang, PA 212 menuntut agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", dimasukkan lagi dalam sila kesatu Pancasila.
"Jika mereka memaksakan RUU HIP menjadi UU kami juga akan menuntut kembali Pancasila berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang mencantumkan kewajiban melaksanakan syariat Islam pada sila satu," kata Ketua Umum PA 212, Slamet Maarif, kepada VIVAnews di Jakarta, Kamis, 18 Juni 2020.
Ia mengingatkan, masalah Pancasila sudah selesai dibincangkan dan diperdebatkan oleh para pendiri bangsa sehingga menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar 1945. Kalau DPR dan pemerintah mau mengutak-atiknya lagi, itu sama dengan mundur ke masa lalu.
"Jadi, jika mereka memaksa mundur kembali untuk membahas kembali ideologi bangsa yang sudah disepakati, ya, apa salahnya kita, umat Islam, mewacanakan kembalinya tujuh kata dalam Pancasila," katanya.
Alasan Slamet mengusulkan memasukkan kembali tujuh kata dalam Pancasila itu tentu menuai kontroversi namun sebenarnya yang membuat polemik di masyarakat adalah para anggota DPR. Kalau pemerintah dan DPR tak mau kontroversi, segera batalkan pembahasan RUU HIP.
Untuk itu, dia menegaskan, jangan mencoba untuk mengutik-atik yang sudah menjadi kesepakatan pendiri bangsa; umat Islam iklhas melepas tujuh kata dalam sila pertama. "Jangan coba-coba rusak lagi Pancasila dengan ideologi lain, apalagi berbau sosio-Marxisme," ujarnya. []