DEMOKRASI.CO.ID - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai wacana kenaikan gaji pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan pemborosan anggaran di tengah pandemi Covid-19. Ia menyebut saat ini pembahasan intensif antara Kementerian Hukum dan HAM dengan KPK terkait rencana kenaikan gaji Pimpinan KPK masih dilakukan.
“Saat ini Indonesia tengah berada di situasi pelik akibat wabah Covid-19. Semestinya sebagai pejabat publik para pimpinan KPK memahami dan menyadari bahwa penanganan wabah Covid-19 di Indonesia membutuhkan alokasi dana yang luar biasa besar, sehingga saat ini bukan waktunya untuk memikirkan diri sendiri dengan permintaan kenaikan gaji tersebut,” kata Kurnia di Jakarta, Selasa (9/6).
Selain itu, Kurnia menilai pembahasan kenaikan gaji Pimpinan KPK dengan pihak Kemenkunham menimbulkan potensi kuat terjadinya konflik kepentingan. Pada situasi seperti itu, Pimpinan KPK tidak akan dapat menghitung dan memutuskan secara objektif berapa gaji yang mereka layak dapatkan.
Kurnia juga memandang bahwa wacana kenaikan gaji pimpinan KPK bertolak-belakang dengan pesan moral lembaga antirasuah itu. KPK dalam berbagai kegiatan selalu menyuarakan untuk menjalankan pola hidup sederhana. Bahkan poin soal ‘sederhana’ ini juga tercantum dalam sembilan nilai integritas yang dibuat KPK.
“Mengingat gaji Pimpinan KPK saat sudah tergolong besar, yakni Rp 123 juta bagi Ketua KPK dan Rp112 juta bagi Wakil Ketua KPK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan, Kedudukan, Protokol, dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, tentu menjadi tidak tepat jika Pimpinan KPK terus ‘mengemis’ untuk mendapatkan kenaikan gaji,” ucap Kurnia. (*)