Oleh: Zainal Bintang
JALAN panjang penemuan vaksin corona masih jauh. Secara umum masyarakat sudah dirundung kelelahan, rasa bosan dan depresi yang dalam atas ketidakpastian oleh serangan wabah korona yang dikenal sebagai Covid-19. Pemerintah atas nama negara menawarkan “jalan tengah” pola baru kehidupan yang disebut new normal untuk memberi oksigen ke ruang kehidupan yang sudah pengap.
Menghindari polemik tidak berkesudahan di ruang publik terkait nyawa manusia yang tertekan diantara: ancaman pandemik dan ancaman ekonomi, Presiden Jokowi berkunjung ke mal besar di Bekasi, Selasa (26/05).
Mengumumkan segera diberlakukan pola hidup new normal. Sebagai edisi perdana dilakukan di 4 propinsi dan 25 kabupaten–kota pada tanggal 4 Juni di wilayah yang dianggap zona hijau. Perhelatan awal itu akan dikawal 340 ribu personil TNI dan Polri.
Ketika mengumukan keputusan pemerintah itu turut mendampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Walikota Bekasi Rahmat Effendi.
“Saya datang ke sini untuk memastikan pelaksanaan kesiapan kita dalam menuju tatanan baru, “normal baru”, ujar Jokowi sambil berulang ulang menyatakan: "Kita ingin tetap produktif tapi aman Covid. Produktif dan aman Covid,"
Keputusan pemerintah melaksanakan pola hidup new normal dibarengi dengan perintah harus konsisten menjalankan protokol kesehatan WHO (Badan Kesehatan Dunia): jaga jarak, pakai masker, cuci tangan dan hindari kerumunan. Itulah mengapa diperlukan kehadiran 340 ribu personil keamanan. Langkah pemerintah itu membawa pesan, pengganti vaksin adalah new normal. Rasa aman nyaman dibutuhkan masyarakat. Kebosanan dalam penjara WFH (Work From Home) yakni: berkerja, belajar dan beribadah dari rumah saja perlu dicairkan. Masyarakat perlu oksigen. Diminta hidup damai dengan korona.
Nampaknya pemerintah tidak main–main, new normal harga mati. Namun dibalik itu ada sisi yang mengkhawatirkan publik, yaitu pengerahan personil keamanan demikian banyak. Itu mengandung resiko tinggi. Rentan konflik. Sulit membayangkan manakala aparat keamanan berhadap–hadapan dengan rakyat dalam posisi keduanya tersulut emosi. Masyarakat akan ditertibkan dengan disiplin militer. Berwatak komando. Pemerintah dinilai bermain api. Diibaratkan “menggendong” bom waktu.
Pasalnya, kredibiltas pemerintah cenderung merosot sejak pandemi di bulan Maret. Lembaga Survey Indobarometer merilis hasil survey (26/05): 53,8 persen warga tidak puas dengan cara pemerintahan Jokowi-Maruf Amin dalam menangani wabah corona. Hasil survey menyebutkan, “masyarakat menilai kebijakan Jokowi tidak konsisten; pemerintah dianggap lambat dalam mendistribusikan bantuan sosial; data penerima bantuan juga tidak akurat dan masyarakat menilai penanganan secara umum lambat."
Tumpukan jerami kekecewaan masyarakat rentan percikan korek api kelompok yang kadung kecewa berat. Tindakan tegas aparat mendisiplikan warga bisa fatal. Bisa berdampak luas. Kekecewaan terpendam kepada pemerintah berpotensi meletup tidak terkontrol. Rakyat yang lapar gampang gelap mata. Perlawanan masyarakat dapat bereskalasi menjadi civil disobediensce alias pembangkangan sipil. Sebagai ekspressi perlawanan atas tindakan yang dianggap kurang adil. Isu politisasi dan korupsi dana bansos (bantuan sosial) oleh aparat melukai hati rakyat banyak yang sedang menderita. Inilah jerami kering ketidakadilan itu.
Apalagi, akhir–akhir ini semua media televisi di Indonesia intensif menyiarkan berita “pembangkangan sipil” di Amerika Serikat terkait terbunuhnya lelaki berkulit hitam yang bernama George Floyd oleh polisi berkulit putih, Derek Chauvin, Senin (2505) di Minnepolis. Kerusuhan berlangsung sudah seminggu lebih siang dan malam. Pengrusakan dan penjarahan pusat pertokoan berkecamuk hampir di seluruh negara bagian sampai hari ini. Kerusuhan yang dilabeli sebagai perlawan atas ketidak adilan negara kepada warganegara.
Buruknya kordinasi internal kabinet Jokowi tercermin lewat banyaknya narasi menteri yang jalan sendiri–sendiri. Bahkan seringkali bertabrakan satu sama lain memperburuk situasi. Narasi juru bicara Istana dan aneka macam pejabat dari KSP (Kantor Staf Presiden) sering sarkastis memperburuk keadaan. Termasuk adanya pernyataan Jokowi yang banyak yang paradoks. Menambah runyam keadaan. Menimbulkan kebingungan dan mengurangi kepercayaan masyarakat.
Dalam situasi dan kondisi segenting ini, dipandang perlu kehadiran sosok tokoh alternatif penengah yang diterima semua pihak. Solusi seperti itu diperlukan untuk menekan temperatur konflik terselubung yang meninggi. Rakyat memerlukan tokoh penyejuk. Menjadi pertanyaan ke mana Wakil Presiden Maruf Amin? Suaranya kurang terdengar.
Maruf Amin sebagai Wapres memiliki modal sosial yang sangat kuat. Ulama besar nasional yang disegani. Mengendalikan MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menjadi representasi semua ormas Islam di Indonesia. Tidak punya gurita bisnis pemicu konflik kepentingan (conflict of interest). Apakah Maruf Amin menahan diri karena orang usia 60an ke atas rentan terpapar virus korona?. Ataukah menjadi fakta dari kecurigaan publik yang menganggap pilihan Wapres kepada Maruf Amin hanya untuk dekorasi demokrasi saja?
Justru belakangan ini yang pro aktif sehari–hari di lapangan adalah mantan Wakil Presiden JK (Jusuf Kalla). Melalui dua organisasi kemasyarakatan yang besar dan kuat, JK bergerak bagaikan “penembak ulung” yang menggunakan senapan double lop: DMI (Dewan Mesjid Indonesia) dan PMI (Palang Merah Indonesia) turun ke lapangan berbuat langsung. Kebetulan kedua ormas itu sangat relevan dengan kondisi kesulitan bangsa hari ini. Simbol mesjid dan simbol kesehatan. Keduanya terkait langsung masalah kemanusiaan. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
(Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)