DEMOKRASI.CO.ID - Hari gini bicara PKI? Kalimat ini ampuh untuk melemahkan gerakan anti komunisme di Indonesia. Apalagi, faktanya, tidak sedikit tokoh Islam yang turut sibuk ‘mengingkari’ gerakan anak-cucu PKI. Belakangan, di media sosial, ada sejumlah kader NU yang memuji-muji tokoh PKI.
“Ya! Kondisi sekarang, persis tahun 1965,” demikian Prof Dr Aminuddin Kasdi, sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) kepada duta.co, Sabtu (6/6/2020) menjelang diskusi menghadang komunisme di Indonesia, yang berlangsung di Graha Astranawa Museum NU, Surabaya.
Menurut Prof Amin, panggilan akrabnya, anak-anak sekarang, sudah tidak peduli dengan kebangkitan PKI. Bagi mereka, itu impossible. Masuk akal. Apalagi di tengah kesibukan teknologi seperti ini. Anak-anak kita hanya sibuk memikirkan masa depan ekonomi. Tidak sempat berpikir masa depan negeri ini.
“Wajar! Pertama, mereka tidak mengalami, bagaimana kejamnya PKI tahun 1948 dan 1965. Kedua, mereka tidak paham modus gerakan komunisme di era sekarang, yang bakal memporak-porandakan tatanana kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
Dulu, lanjut Prof Amin, umat Islam juga meremehkan kekuatan komunisme sampai membentuk partai, PKI. Tidak sedikit tokoh-tokoh Islam yang memuji-muji PKI, bahkan larut dalam sayap gerakannya. Baik dari NU, Muhammadiyah maupun ormas Islam lain. “Hari ini, sama. Persis seperti dulu, tahun 1965. Umat Islam baru sadar, ketika melihat sejumlah jenderal dibunuh, kiai dan santri dihabisi,” tegasnya.
Nah, sekarang, modus mereka berbeda. Kalau dulu serangan fisik, hari ini kader PKI bergerak dengan merebut tatanan negara melalui politik. “Anak-anak kita, mungkin saja, tidak berhadapan secara fisik, tetapi, mereka akan dihabisi secara politik. Dan itu sudah dilakukan melalui undang-undang. Hari ini mereka ‘menyusup’ dalam Rancangan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Kalau HIP ini disahkan menjadi UU, maka, berhasil sudah mereka ‘mengamandemen’ ruh tatanan bernegara kita. Ironisnya wakil kita, tidak paham,” ujarnya.
Mantan aktivis GP Ansor NU (1963-1968), Pelajar Islam Indonesia (1963-1965), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI 1965-1975) dan Pengurus Muhammadiyah tahun 1976 ini, kemudian membeber satu persatu gerakan politik anak-anak PKI yang berhasil dan, tidak disadari oleh umat beragama di negeri ini. Termasuk wakil rakyat yang ada di Senayan.
Kalau Tidak Kita, Siapa?
Pertama, mereka berhasil membuang pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
“Kedua, mereka berhasil menciptakan opini, bahwa, PKI itu korban. Bahkan, pernah ditemukan buku pelajaran sekolah yang menerangkan PKI itu korban G30S/PKI 1965. Ini berbahaya. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh kader PKI yang sudah menyusup ke pemerintah,” tegasnya.
Sekarang, lanjutnya, muncul RUU HIP. Draf UU tersebut dengan jelas mengamputasi ruh berbangsa dan bernegara, sebagaimana dicita-cita pendiri bangsa ini. Tampak jelas, RUU HIP ini ingin memisahkan agama dari urusan bernegara. Ironisnya menggunakan kalimat Haluan Idelogi Pancasila. Isinya dimodifikasi sedemikian rupa, agar anak-anak kita jauh dari agama.
“Akhirnya larangan PKI dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme sebagaimana dalam TAP MPRS XXV Tahun 1966, tidak masuk dalam konsideran RUU HIP. HIP ini hanya mencantumkan kata Ketuhanan. Kalimat ‘Yang Maha Esa’ dibuang. Begitu juga Kemanusiaan. Kalimat ‘Yang Adil dan Beradab’ dibuang. Padahal, kalau hanya kata Ketuhanan, kita bisa menuhankan apa saja, jabatan, pangkat, duit, ini berbahaya. Begitu juga Kemanusiaan, ini utuk siapa?” jelasnya.
Karenanya, RUU HIP, jelas Prof Amin, harus ditolak. Ini niat jahat menjauhkan bangsa dari Ketuhanan Yang Maha Esa. “Padahal, negeri ini merdeka, diakui para pejuang kita, dan dipatri dalam pembukaan UUD 1945, Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur. Ini tidak boleh diamputasi,” pungkasnya.
Ada yang menjamin bahwa TAP MPRS XXV Tahun 1966 tentang PKI tetap berlaku? “Kalau tetap berlaku, masukkan saja dalam konsideran RUU HIP. Nyatanya, kan tidak. Apa susahnya? Soal hukum tidak bisa berkilah dengan kata. Konsideran menjadi utama. Faktanya, tidak dimasukkan, ada apa?” tanyanya.
Apalagi, dikabarkan, bahwa, Ketua Panja RUU HIP ini adalah Ribka Tjiptaning, yang telah mengatakan ‘Aku bangga Jadi Anak PKI’. Karenanya, Jumat (12/6/2020) sejumlah aktivis Islam Jawa Timur siap turun menggebuk PKI.
“Kita harus lawan. Kalau tidak kita, siapa? Kita selamatkan anak cucu kita. Jika tidak, kelak mereka akan dibantai habis oleh PKI. Kalau tidak secara fisik, mereka dibantai secara ekonomi dan politik,” jelas Ketua Centre For Indonesian Community Studies (CICS), Arukat Jaswadi yang hadir dalam diskusi terbatas bersama Drs Choirul Anam (Cak Anam) Dewan Kurator Museum NU. (*)