DEMOKRASI.CO.ID - Gaya hidup mewah dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, Fedrik Adhar menjadi sorotan publik dan menjadi perbincangan hangat warganet.
Belakangan jaksa fungsional pada sub unit kerja di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara itu ternyata memiliki harta milyaran rupiah. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Negara (LHKPN) di KPK, Jaksa Fedrik Adhar memiliki total harta kekayaan mencapai Rp 5,8 miliar pada 2018.
Menanggapi hal itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati angkat bicara. Menurutnya, selain adanya larangan bergaya hidup mewah, seorang Jaksa juga dilarang merangkap sebagai pengusaha atau pebisnis.
Besarnya harta kekayaan seorang Jaksa hingga milyaran rupiah itu dinilai tidak wajar. Sebab, kata Asfinawati, gaji seorang Jaksa tidak mencapai milyaran rupiah. Apalagi seorang jaksa dilarang menjadi pengusaha sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 UU 16/2004.
"UU Kejaksaan dilarang bisnis. Jadi harta (milyaran) dari mana?” kata Asfinawati di Jakarta, Selasa (16/6).
Atas dasar itu, Asfinawati menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu turun tangan untuk menelusuri asal-usul harta kekayaan seorang jaksa yang mencapai Rp 5,8 miliar itu. Terlebih, terakhir melaporkan LHKPN-nya tahun 2018. Sedangkan kini sudah tahun 2020.
"Perlu sekali (KPK turun tangan). Dan atasan (Jaksa) seharusnya melihat kemungkinan adanya indikasi korupsi. Karena dari gajinya tidak mungkin bisa bergaya hidup seperti itu," ujar Asfinawati.
Hal lain, lanjut Asfinawati, adanya kejanggalan dari Jaksa tersebut yang ditunjuk untuk menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Padahal berdasarkan laporan Komnas HAM terkait kasus Novel itu berkaitan dengan kasus yang ditangani Novel Baswedan di KPK bukan pada kejaksaan.
"Lebih aneh lagi ditunjuk untuk kasus Novel. Jelas temuan lembaga negara misal Komnas HAM, penyiraman terkait pekerjaan Novel yaitu KPK," demikian Asfinawati. []