DEMOKRASI.CO.ID - Desakan Kementerian BUMN agar Pertamina segera membentuk subholding dan melepasnya ke publik melalui bursa saham dikritik.
Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule menilai langkah itu ujung-ujungnya adalah privatisasi Pertamina.
“Buat Holding dan IPO (initial public offering), agar pertamina bisa dijual,” simpulnya kepada redaksi sesaat lalu, Jumat (19/6).
Iwan Sumule lantas mengingat utang janji Presiden Joko Widodo yang sempat ingin membeli kembali saham Indosat. Alih-alih buyback, Jokowi justru kembali akan mengulangi kesalahan menjual BUMN.
“Dulu ada privatisasi, Indosat terjual. Janjinya mau buyback. Sekarang bukan buyback, malah Pertamina mau dijual juga,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa konstitusi dan UU tegas menyebut bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dilarang untuk diprivatisasi. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945.
Sementara UU 22/2001 tentang Migas menjelaskan bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
Penguasaan yang dimaksud diselenggarakan oleh pemerintah sebagai kuasa pertambangan.
Sejurus itu, Pasal 19 UU 19/2003 tentang BUMN menguraikan bahwa perseroan yang tidak dapat diprivatisasi adalah persero yang ada di bidang usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan hanya dikelola oleh negara.
Kedua, persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi
“Jadi jelas penjualan Pertamina harus dicegah. Apalagi sangat bertentangan dengan konstitusi dan UU,” tekannya.
Dengan nada menyindir, Iwan Sumule mengatakan bahwa saat ini tanah Indonesia sudah banyak yang dikuasai koorporasi dan boleh dimiliki asing. Kondisi ini sangat berbahaya sebab orang asli Indonesia bisa-bisa jadi asing dengan negeri sendiri.
“Lama-lama kita jadi negara yang kontrak di tanah sendiri,” demikian Iwan Sumule. (*)