DEMOKRASI.CO.ID - Ahli hukum tata negara (HTN) Bayu Dwi Anggono menyatakan dinamika publik soal urgensi dan substansi RUU dalam suatu negara hukum demokratis adalah hal yang wajar. Namun demikian, dinamika tersebut haruslah diletakkan dalam semangat berusaha mencari persetujuan bersama dan dihindarkan dari tindakan saling mencari menang-menangan.
Pernyataan di atas menyikapi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang riuh di publik. RUU HIP merupakan RUU inisiatif DPR.
"Meskipun dalam RUU ini ada bagian atau ketentuan yang menimbulkan perbedaan pandangan di masyarakat, namun sesungguhnya secara garis besar keberadaan RUU ini masih memenuhi syarat dapat dibentuknya suatu UU sebagaimana diatur dalam konstitusi maupun UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Bayu saat berbincang dengan detikcom, Selasa (16/6/2020).
Jika ditelisik, maka RUU HIP adalah pelaksanaan dari Konsideran menimbang huruf a Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari lahir Pancasila yang menyebutkan:
Bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu RUU HIP juga dalam rangka melaksanakan Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 yang menyatakan:
Pancasila merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada umumnya.
Perlu diketahui saat ini mengenai kebijakan dan strategi untuk pembudayaan dan implementasi Pancasila termasuk aspek kelembagaan yang bertanggung jawab secara khusus baru diatur dalam Peraturan Presiden yaitu Perpres 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)," papar Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember itu.
Bayu mencoba membandingkan dengan pengaturan mengenai kelembagaan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang diatur dengan UU 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Ada miga Perpustakaan Nasional (Perpusnas) diatur dengan UU 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Juga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) diatur dengan UU 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Begitu pula Kwartir Nasional Pramuka diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Serta Palang Merah Indonesia (PMI) diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
"Dengan demikian jika ada rencana untuk meningkatkan derajat pengaturan mengenai kebijakan dan strategi pembudayaan Pancasila dalam kehidupan kenegaraan termasuk kelembagaan yang bertanggung jawab secara khusus yaitu dari Peraturan Presiden menjadi Undang-Undang maka hal semacam itu adalah kebijakan hukum terbuka yang diperbolehkan menurut UUD 1945," cetus Bayu.
Menurut Bayu, sudah jamak dijumpai dalam praktik kenegaraan atas dasar tujuan dan kebutuhan tertentu maka pengaturan kelembagaan yang awalnya ada di Perpres ditingkatkan menjadi UU. Namun demikian terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh RUU Haluan Ideologi Pancasila agar tidak terkesan menurunkan derajat status kedudukan pancasila sebagai norma dasar negara (grund norm) atau norma fundamental negara (staatfundamental norm) yang kedudukannya di atas UUD 1945 menjadi berkedudukan setingkat UU.
"Persyaratan tersebut adalah dalam RUU HIP hanyalah mengatur strategi bagaimana internalisasi atau pembudayaan Pancasila dalam pengambilan kebijakan atau pembentukan peraturan-perundang-undangan oleh lembaga-lembaga negara, kemudian berbicara strategi bagaimana pendidikan karakter berbasis Pancasila dikembangkan baik pendidikan formal maupun informal, serta bagaimana kemudian kedudukan, organisasi, tugas dan wewenang kelembagaan yang bertanggung jawab melakukan pembudayaan Ideologi Pancasila termasuk jaminan pendanaan dan partisipasi publik dalam pembudayaan Pancasila," ujar Bayu menjelaskan.
Mengingat RUU HIP sangat terkait dengan kepentingan berbagai golongan dan aliran politik dalam masyarakat, maka pembahasannya harus dilakukan terbuka, dialogis dan partisipatif dengan membuka peluang perbaikan terhadap naskah RUU yang ada seperti perbaikan bagian.
"Mengingat RUU dengan memasukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang melarang ajaran marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme dan khilafahisme. Selain itu sebaiknya pengesahannya tidak dilakukan terburu-buru melainkan perlu terus memperluas dan memperlebar ruang masukan dari segenap elemen masyarakat agar tercapai konsensus bersama," pungkas Bayu.(dtk)