DEMOKRASI.CO.ID - Front Pembela Islam (FPI) menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Hal tersebut disampaikan sekretaris umum FPI, Munarman dalam diskusi RUU HIP bersama ulama, asatidz dan habaib secara virtual.
“Kita bisa saksikan di dalam RUU menyebutkan pancasila, tetapi di sila pertama tidak menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hanya Ketuhanan. Ini membuktikan bahwa ada maksud-maksud tertentu untuk menghilangkan dan menafikan sejarah bangsa ini yang sudah sepakat bahwa ketuhanan tidak bisa dilepaskan dari Yang Maha Esa, sehingga patut diduga undang-undang ini anti ketuhanan,” kata Munarman, Selasa (9/6).
Padahal, lanjut dia, pembukaan UUD tetap menggunakan Ketuhanan Yang Maha Esa, termasuk di dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan konstitusi negara. Artinya, kalimat tujuh kata itu sudah kembali berlaku.
“Ibarat kata sebidang tanah yang tidak memiliki sertifikat, sekarang memiliki sertifikat dengan Dekrit 5 Juli 1959, maka tidak boleh ada yang melarang (pelaksanaan syariat Islam). Sekarang kan juga ada UU Haji, Wakaf, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Munarman menilai, RUU HIP tidak diperlukan, alasan pertama, persoalan ideologi. Menurut dia, ieologi bukan untuk dijadikan undang-undang.
“Ideologi adalah khazanah ilmu atau tsaqofah. Jadi alangkah lucunya kalau sebuah ideologi dikerangkeng dengan undang-undang,” ujar dia.
“Artinya, pengusul RUU ini memiliki maksud tertentu. Kalau dalam dunia persilatan pendekar berwatak jahat, kenapa, karena sebuah ideologi tidak bisa dibingkai undang-undang, tapi dia ada di seluruh aspek kehidupan,” imbuhnya.
Kedua, ideologi terus berkembang sesuai perkembangan zaman karena didoktrin ilmu pengetahuan, sementara undang-undang itu dari segi ilmu hukum tata negara. Begitu sebuah pertarungan ide dibungkus menjadi undang-undang, maka orang diharamkan untuk memperdebatkan.
“Persoalannya, konteks dalam RUU ini lebih banyak dimuati substansi ideologi komunis atau sosio-marxisme, sehingga ini yang menyebabkan kekeliruan luar biasa,” katanya.
Ketiga, di dalam RUU tersebut bicaranya muluk-muluk, tapi ia menilai sebagai omong kosong. Ketika berbicara keadilan sosial, misalnya, sumber daya tambang dan kekayaan lainnya tidak diberikan kepada masyarakat Indonesia.
“Jadi, undang-undang ini main-main saja kalau saya melihatnya, maka undang-undang ini mesti disetop pembahasannya,” katanya menegaskan. []