logo
×

Sabtu, 20 Juni 2020

Distorsi Pancasila dalam RUU HIP: Adakah Indikasi Perencanaan Makar terhadap Dasar Negara?

Distorsi Pancasila dalam RUU HIP: Adakah Indikasi Perencanaan Makar terhadap Dasar Negara?

Oleh: Pierre Suteki, Gurubesar Universitas Diponegoro, Semarang

SANTER terdengar teriakan yang menyatakan bahwa dengan adanya RUU Haluan Ideologi Pancasila sebenarnya menguak tabir adanya perencanaan jahat terhadap penggantian Pancasila sebagai dasar negara/ideologi.

Hal ini ditengarai dari adanya niat kesengajaan untuk, (1) tidak mencantumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 yang memuat Pancasila Dasar Negara; (2) tidak memuat Tap MPRS No. XXV/1966 yang berisi tentang Pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan pengenyebaran dan pengembangan ideologi komunisme/marxisme-leninisme di seluruh wilayah NKRI; (3) upaya memeras Pancasila menjadi Trisila hingga Ekasila. Apakah betul upaya tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana perencanaan makar ideologi atau dasar negara?

Sebagai istilah hukum, makar tidak didefinisikan dengan tegas dalam KUHP. Penjelasan-penjelasan makar merupakan istilah yang dipakai oleh akademisi hukum untuk menterjemahkan aanslag (bahasa Belanda). Kata aanslag diartikan sebagai serangan yang bersifat kuat atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai violent attack, fierce attack.

Terdapat beberapa jenis makar sesuai KUHP, yaitu: (1) Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 104); (2) Makar terhadap wilayah (Pasal 106)
(3) Makar terhadap Pemerintah (Pasal 107 (1)); (4) Makar terhadap Pancasila Dasar Negara atau dapat disebut Makar Ideologi (Pasal 107 huruf b, d dan e).

Pada artikel ini secara khusus dan terbatas akan dibahas tentang makar terhadap dasar negara/ideologi Pancasila.

Makar Terhadap Dasar Negara/Ideologi Pancasila

Makar ideologi merupakan istilah yang dapat dianggap soft attack namun berakibat fatal karena menimbulkan perubahan dahsyat terhadap sendi utama negara. Dasar negara akan tercerabut sehingga konstitusi suatu negara dapat berubah hingga membatalkan deklarasi kemerdekaan yang telah dilakukan. Negara menjadi sangat rawan untuk dikudeta oleh pemberontak yang menghendaki adanya perubahan mendasar atas suatu negara sah.

Makar itu dapat dilakukan oleh ideologi yang berbasis pada filsafat materi yang terang-terangan melawan kodrat manusia untuk berlaku fitrah dan sesuai dengan pertimbangan akal sehat.

Terkait dengan eksistensi sebuah Ideologi komunisme yang telah terbukti dipakai sebagai inti organisasi pemberontak, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) jelas sudah ada pengaturannya melalui UU No. 27/1999 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP dengan menambahkan sisipan huruf a, b, c, d, e, dan f pada Pasal 107 tersebut. Beberapa pasal UU tersebut mengatur secara khusus makar terhadap Dasar Negara Pancasila yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Pasal 107 b. Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(2) Pasal 107 d. Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar
Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(3) Pasal 107 e, khusunya huruf (b). Dipidana dengan pidana pcnjara paling lama 15 (lima belas tahun):

a. Barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau

b. Barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.

Sejak pembuatan Naskah Akademis (NA) RUU HIP patut diduga telah timbul niat untuk melakukan perubahan atas Pancasila dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi sebuah dasar bernegara sesuai gagasan individu Ir. Soekarno (Soekarnoisme) yang dikenal dengan pemerasan Pancasila menjadi Trisila, yakni Sosio nasionalisme, Sosio demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan dan hingga Ekasila, yakni Gotong Royong. Upaya ini tertuang dalam Pasal 7 RUU HIP yang berbunyi:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan; (2) Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan; (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Siapa yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila? Ir. Soekarno lah yang telah mengajukan ide untuk memeras Pancasila itu jika istilah Pancasila tidak disetujui. Apakah disetujui oleh BPUPKI dan Panitia 9 yang merumuskan Piagam Jakarta? Jawabnya: Tidak! Terbukti hingga Piagam Jakarta dan UUD NRI 1945 kelima sila tidak diperas menjadi Trisila hingga Ekasila, gotong royong.

Lalu mengapa kita masih ber-halu kepada memory pada awal tahun 1945 ketika pembahasan dasar negara dilakukan. Keadaan ini sangat rawan menimbulkan gesekan antar golongan yang tidak berkesudahan seperti situasi yang terjadi selama sidang Badan Konstituante yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Katanya Pancasila sudah final, tetapi mengapa masih juga ditafsirkan bahkan sengaja mau diperas-peras hingga menjadi Ekasila, gotong royong? Gotong rotong macam apa? Ala komunis, ala liberalis, ala Pancasila yang seperti apa? Yang mendekati komunis, yang sekuler? Pemerasan itu justru menimbulkan keadaan sulit ada pemahaman Pancasila yang utuh. Oleh karena itu Pancasila tidak boleh diperas-peras dan pemerasan itu patut diyakini sebagai sebuah upaya untuk mengganti isi Pancasila hingga mengganti Pancasila itu sendiri.

Fakta hukum berikutnya juga mengindikasikan bahwa patut diduga terjadi perencanaan Makar Dasar Negara/Idelogi yang dilakukan oleh Pengusung Ideologi Komunisme (PIK) dan oleh karenanya perlu dicurigai telah menjadi "penumpang gelap" dalam penyusunan RUU HIP. Beberapa indikasi adanya perencanaan oleh penumpang gelap ini dapat diungkap melalui beberapa bukti argumentatif yang secara substantif dapat dibaca dalam RUU HIP, berikut ini:

1. Cacat Ideologis Politik Hukumnya

Politik hukum RUU HIP dapat kita telusuri melalui konsideransnya. Pada konsiderans RUU ideologi ini tidak mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi dasar peraturan diterbitkannya RUU Ideologi negeri ini yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai tonggak sejarah keberlakuan UUD 1945 dan Pancasila yang murni dan konsekuen sehingga kita tahu, bahwa Pancasila yang dimaksud HIP ini tetap harus Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak dapat diperas menjadi TRISILA apalagi EKASILA.

Adapun Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 mengatur tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Penyebaran Ideologi Komunisme dan Marxisme-Leninisme. HIP adalah menyangkut ideologi maka, harus ada sikap tegas terhadap ideologi lain khususnya ideologi Komunisme yang dianut oleh PKI yang secara terang-terangan telah beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap NKRI.

2. Distorsi Pokok-pokok Pikiran Sila Pancasila

Istilah pokok pikiran dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pertama kali kita temukan pada Penjelasan UUD 1945. Ada empat pokok pikiran yang kita kenal yang tidak lain adalah lima sila Pancasila yang disebut secara utuh, tidak satu kata yang dianggap sebagai pokok pikiran. Pada Pasal 3 (1) disebutkan tentang Pokok-pokok pikiran Haluan Ideologi Pancasila memiliki prinsip dasar yang meliputi: a. ketuhanan; b. kemanusiaan; c. kesatuan; d. kerakyatan/demokrasi; dan e. keadilan sosial.

Pokok pikiran HIP ini mendistorsi sila-sila Pancasila karena hanya menyebutkan kata dasarnya. Seharusnya prinsip dasar HIP tetap sila-sila Pancasila yang utuh. Jadi harus: Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa harus demikian? Karena ada konsep lain ketuhanan, yakni ketuhanan yang berkebudayaan seperti konsep Ir. Soekarno. Juga harus Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Mengapa karena ada kemanusiaan ala komunisme (memasung HAM) dan liberalisme (pengutamaan HAM). Juga bukan kesatuan, tetapi Persatuan Indonesia, dan seterusnya. Kita tidak ingin sila yang sudah dasar itu diperas hingga dapat dimaknai secara berbeda.

3. Pergeseran Sendi Pokok Pancasila

Dalam Pasal 6 (1) HIP disebutkan bahwa Sendi Pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Pergeseran sendi ini amat berbahaya bagi corak kehidupan bangsa Indonesia di masa depan. Apakah kita lupa bahwa negara Indonesia ini adalah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 29 Ayat 1 UUD NRI 1945). Apa artinya itu? Artinya sendi pokok negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikian pula sendi pokok Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa bukan Keadilan Sosial. Hal ini harus dipertegas mengingat bila digambarkan secara piramidal maka puncak Pancasila itu bukan keadilan sosial melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi esensi, sendi pokok, ruh dari keempat sila lainnya. Menjadikan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila dapat menyeret kita ke arah keadilan sosial ala komunis (ateis) dan kapitalis (sekular). Apakah kita mau mengarahkan kehidupan kita pada konsep keadilan sosial kedua ideologi komunis tersebut?

Sungguh di negeri ini banyak sekali yang lebih layak disebut dengan istilah dan sebutan Penumpang Gelap. Orang-orang Liberal, para Kapitalis dan Sekuleris. Bahkan, dengan mengulik RUU HIP sebagaimana di muka, di negeri ini juga terdapat Penumpang Gelap lainnya yaitu Pengusung Ideologi Komunis (PIK) yang keberadaannya bagai bergerak di bawah tanah, tidak terlihat namun kenyataannya memang ada. Inikah sifat latent ideologi komunis? Posisi Umat Islam sangat jelas, tidak ingin menjadi penumpang gelap karena secara tulus memiliki misi mewujudkan negara ini menjadi bahtera utuh menuju negeri pulau yang baldatun toyibatun warobun ghofur. Andai pun ada bahtera demokrasi yang retak, saya yakin bukanlah umat ini perompaknya lantaran menjadi penumpang gelapnya.

Terkait dengan ideologi sosialisme komunis, pada artikel ini hendak diuraikan tentang sifat latent ideologi ini. Benarkah sifat latent ini dikehandaki oleh pendukungnya? Ternyata tidak! Disebutkan oleh Andrew Taylor (2011) dalam buku 'Buku-buku Yang Mengubah Dunia', bahwa dalam The Communist Manifesto di bagian penutup Karl Marx menyerukan untuk persatuan internasional dan pernyataan keinginan yang tegas: "Kaum komunis merasa terhina untuk menyembunyikan pandangan dan tujuannya. Mereka secara terbuka mendeklarasikan bahwa tujuan akhir mereka dapat dicapai hanya dengan penggulingan paksa semua kondisi sosial yang ada".

Mengapa kita bisa mengatakan bahwa meskipun masih dalam tahap rancangan, sesuatu kelompok sudah dapat terindikasi melakukan makar ideologi/dasar negara Pancasila? Bukankah belum ada kejadian Pancasila diubah menjadi dasar negara lain? Hal ini disebabkan delik makar itu merupakan delik formil, suatu delik yang pembuktian unsurnya tidak perlu menunggu selesainya suatu perbuatan pidana atau akibat perbuatannya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi ketika mengadili permohonan pengujian atas pasal makar.

Sebagaimana diketahui, pasal makar pernah dua kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon meminta makar harus dimaknai sebagai 'serangan', sehingga harus dianggap sebagai delik selesai (delik materiil). Namun, MK menilai argumen itu tidak bisa diterima. MK berpendapat percobaan makar -- tanpa perlu tujuan makar tercapai yaitu pemerintah yang terguling--pun sudah bisa dikenai delik.

Sebab apabila kata 'makar' begitu saja dimaknai sebagai 'serangan', hal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena penegak hukum baru dapat melakukan tindakan hukum terhadap seseorang apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan 'serangan' dan telah nyata timbul korban. Demikian bunyi putusan MK yang diketok pada 31 Januari 2018.

Para Pihak yang Patut Diduga Terlibat dalam Perencanaan Makar Terhadap Dasar Negara/Ideologi Pancasila Melalui RUU HIP

Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas dugaan adanya perencanaan makar terhadap Pancasila sebagai ideologi/dasar negara? Kita bisa menelusuri dari mana usulan RUU HIP dan siapa konseptor serta siapa saja yang telah menyetujui/menyepakati substansi RUU HIP sekaligus siapa saja yang setuju agar HIP disepakati sebagai RUU Inisiatif DPR.

Kalau ditelusuri ke belakang dapat diduga beberapa pihak yang terlibat penyiapan RUU HIP, yaitu: (1) BPIP; (2) BALEG DPR RI; (3) Pimpinan Partai Koalisi, khususnya PDIP; (4) Seluruh Fraksi DPRRI kecuali PKS dan Demokrat (Fraksi-Fraksi (F-PDI Perjuangan, F-PG, F-PGerindra, F-PNasdem, F-PKB, F-PAN, dan F-PPP).

Mereka yang patut bertanggung jawab baik secara moral maupun secara hukum atas jika ada dugaan kuat adanya perencanaan makar ideologi/dasar negara.

Ada persoalan mendasar untuk terjadinya sebuah delik makar, yakni sebenarnya hukum itu untuk siapa? Atau lebih tepatnya: Delik makar itu untuk siapa? Hal ini saya tanyakan mengingat dalam sistem hukum yang menganut aliran legal positivisme, hukum itu didefinisikan sebagai perintah (command) dari suatu penguasa (soverignty) yang di-back up dengan ancaman (sanction).

Jadi, berdasarkan konsep demikian maka terkesan hukum atau peraturan hukum itu untuk rakyat bukan untuk penguasa sehingga terkesan tidak mungkin ada penguasa yang akan melakukan makar. Mindset ini yang seharusnya kita kenali karena makar itu bukan hanya terhadap penguasa tetapi juga terhadap dasar negara atau ideologi.

Mungkinkah penegak hukum kita mengadili sejumlah orang banyak yang terlibat dalam dugaan perencanaan makar terhadap dasar negara/ideologi Pancasila melalui RUU HIP ini? Siapa yang berani melaporkan? Siapa yang berani melakukan penyelidikan, penyidikan? Siapa yang berani melakukan penuntutan? Siapa yang berani memeriksa hingga memberikan putusan yang adil terhadap mereka yang terduga melakukan perencanaan makar terhadap Pancasila jika para penegak hukumnya tidak netral bahkan berada dalam belenggu industri hukum? Jawabannya ada di benak kita sendiri.

Pihak yang Berhak Melaporkan Dugaan Perencanaan Makar Terhadap Dasar Negara/Ideologi

Delik makar ini adalah delik biasa, bukan delik aduan. Polri dan atau Kejaksaan dapat segera melakukan penyelidikan dan penyidikan tanpa harus menunggu laporan dari pihak mana pun.

Pihak yang lain seperti anggota fraksi Partai Demokrat dan PKS serta penggiat Studi Pancasila, Rumah Pancasila, MUI dan lain-lain dapat mendorong agar Polri dan atau Kejaksaan menjalankan tugasnya dalam rangka penyelamatan Dasar Negara/Ideologi Pancasila dari rongrongan pihak yang melakukan permufakatan jahat untuk menggeser sendi pokok hingga mengganti Pancasila.

Kehendak mengusut kasus ini sangat ditentukan pula oleh Presiden sebagai penanggungjawab pelaksanaan ideologi/dasar negara Pancasila. Apalagi Presidenlah yang berada sebagai atasan langsung BPIP, maka Presiden wajib menginisiasi penyelidikan kasus ini sebagai bukti bahwa Presiden tidak terlibat dalam perencanaan makar terhadap dasar negara/ideologi Pancasila.

Presiden dapat menginisiasi pembentukan tim pencari fakta atas dugaan adanya Perencanaan Makar terhadap Pancasila Dasar Negara/ideologi. Para ketua partai politik yang tidak terlibat dalam pengusungan RUU HIP pun dapat mendorong agar kepolisian, kejaksaan dan Presiden bahu membahu mengatasi kasus ini sesegera mungkin.

Penutup

Artikel pendek ini tidak dimaksudkan untuk memperkeruh keadaan negeri yang masih silang sengkarut dalam hukum dan penegakannya, namun sebagai sarana untuk memahami kasus ini secara jernih. Kita tidak berharap sebagian rakyat melakukan tindakan kekerasan dalam penyelesaian dugaan adanya perencanaan makar terhadap dasar negara/ideologi negara Pancasila. Due process of law harus kita utamakan dibandingkan penyelesaian secara bar-bar atau penggunaan kekuasaan.

Kita buktikan bahwa kita tetap ingin menjadikan Pancasila sebagai bingkai penyelesaian kasus ini, baik secara hukum dan politik maupun secara moral. Menurut hemat saya, tim pencari fakta harus segera dibentuk dan diterjunkan untuk memastikan ada tidaknya mens rea serta terpenuhinya unsur-unsur delik makar yang dilakukan oleh para pengusung RUU HIP yang mendistorsi teks dan konteks Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, Dasar Negara dan Sumber Dari Segala Sumber Hukum Negara.

Cara terbaik yang segera dapat dilakukan adalah: (1) DPR dan Pemerintah segera bertemu dan memutuskan secara tegas bahwa RUU HIP dibatalkan tanpa reserve. (2) Di samping itu semua yang terlibat dalam perumusan RUU HIP harus minta maaf secara terbuka kepada seluruh bangsa Indonesia sebagai bentuk penyesalan atas kesalahannya mendistorsi Pancasila dalam RUU HIP.

Jika kedua langkah tersebut telah dilakukan, maka upaya memproses kasus ini secara dalam frame criminal justice system dapat dihindari dengan mencoba menerapkan penyelesaian secara restorative justice system.

Cara ini bukan berarti meniadakan delik pidananya tetapi lebih dalam upaya pengampunan tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan demi keadilan substantif. Dengan demikian, untuk menyelesaikan perkara ini dengan baik, ada tiga nilai dasar yang harus kita pegang, yaitu Honeste Vivere, Alterum Non Laedere, Suum Cuique Tribuere!

Tabik...!!! []
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: