DEMOKRASI.CO.ID - Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) berpotensi menghilangkan demokrasi dan menyuburkan politik uang.
"Presidential threshold itu kemudian juga memunculkan apa yang disebut dengan duitokrasi. Apasih duitokrasi? Yang membunuh demokrasi di Indonesia," ujar Gurubesar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Denny Indrayana dalam diskusi virtual bertajuk 'Ambang Batas Pilpres, Kuasa Uang dan Pilihan Rakyat' yang diselenggarakan Voice for Change, Jumat (19/6).
Ia menjelaskan lebih jauh mengenai istilah yang ia buat tersebut. Katanya, duitokrasi berasal dari kata 'duit'.
"Jadi artinya ya demokrasi Indonesia dibunuh oleh politik uang," tegasnya.
Namun, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu mengatakan, politik uang yang dimaksud dari istilah duitokrasi bukan sekadar memperjualbelikan suara rakyat (vote buying), tetapi memiliki arti yang lebih luas.
"Kalau kita sering menyebut politik uang itu sebenarnya yang dimaksud adalah vote buying. Padahal enggak, di dalamnya itu ada money politic, electoral corruption, ada political corruption dan banyak lagi yang lain," ungkapnya.
Bahkan praktik duitokrasi ini bisa disaksikan saat calon presiden dan wakil presiden tengah mencari dukungan dari partai politik, karena imbas dari keberadaan presidential treshold.
"Ini semua termasuk jenis-jenis korupsi pemilu. Dan kalau kita bicara presidential threshold, maka yang paling berkaitan dengan itu adalah bagaimana calon kandidat presiden atau wakil presiden memberi mahar ke partai politik untuk bisa dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden," tutup Denny yang juga pernah menggugat PT.(rmol)