DEMOKRASI.CO.ID - Seiring turunnya harga jual minyak dunia, pemerintah bersama komisi energi (Komisi VII) DPR telah sepakat tentang perlunya dilakukan penyesuaian harga Baham Bakar Minyak (BBM) non-subsidi. Kesepakatan ini disimpulkan dalam rapat kerja bersama antara pemerintah dan Komisi VII DPR pada 4 Mei 2020 lalu.
Bagai angin berlalu, lebih dari sebulan setelah isi rapat itu diketok, hingga kini pemerintah belum juga melakukan penyesuaian harga. Harga jual BBM non-subsidi di seluruh SPBU masih berdasar harga lama tanpa ada pengurangan sedikitpun. BBM jenis Pertalite dijual Rp 7.650/liter, Pertamax Rp Rp 9.000/liter, Pertamax Turbo Rp 9.850/liter, Dexlite Rp 9.500 dan Pertamina DEX Rp 10.200/liter.
Padahal harga minyak dunia masih relatif murah dan stabil. Misalnya saja harga minyak west texas intermediate (WTI) pada pukul 07.25 WIB (2/6/2020) untuk pengiriman Juli 2020 di New York Merchantile Exchange berada di US$ 35,5 per barel. Ini masih ditambah dengan tren penguatan rupiah yang kini bertengger di kisaran Rp 14.600 per dolar Amerika Serikat.
Jika melihat isi kesimpulan rapat tersebut, poin 5 menyebutkan Komisi VII mendesak Menteri ESDM RI untuk secepatnya memberikan penjelasan secara terbuka dan masif terkait harga BBM sebagaimana diamanahkan pada Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 di saat rendahnya harga minyak mentah di dunia.
Selanjutnya poin 6 rapat menyimpulkan Komisi VII DPR RI mendesak Menteri ESDM RI melakukan penyesuaian harga BBM dengan merevisi Kepmen ESDM No. 62 Tahun 2020 tentang formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak umum jenis bensin dan minyak solar yang disalurkan melalui SPBU dan/atau stasiun pengisian bahan bakar nelayan.
Anggota Komisi VII DPR, Sartono Hutomo, mengaku dirinya sudah berulang kali mempertanyakan kepada pemerintah tentang harga BBM non subsidi yang hingga kini tak kunjung turun. Sebab itu, ia sepakat apabila diusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPR mengenai harga BBM ini.
"Suara teman-teman di DPR soal Pansus BBM itu menarik. Kan harus transparansi dan terbuka. Jangan ditutup-tutupi," kata Sartono saat dihubungi, Ahad, 7 Juni 2020.
Politikus Partai Demokrat ini menuturkan, pansus BBM yang sempat diusulkan tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai bentuk tugas pokok dan fungsi (tupoksi) DPR di bidang pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Tujuannya, agar DPR tahu alasan pemerintah secara rinci mengapa harga BBM non subsidi hingga kini masih bertahan di harga yang sama.
"Intinya keterbukaan agar rakyat tahu dan juga agar tidak ada yang disembunyikan. Untuk hal yang lebih baik, kenapa tidak dibentuk Pansus BBM," ujarnya.
Sartono mengingatkan dalam situasi pandemi Covid-19 pemerintah tidak menambah beban masyarakat , termasuk mengabaikan kebijakan yang sebelumnya sudah disepakati.
Ratna Juwita Sari, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa juga sepakat dibentuknya Pansus BBM. Menurutnya hal ini ada kaitannya dengan restrukturisasi Pertamina yang diusulkan oleh Stafsus Menteri BUMN. Akan tetapi, usulan ini belum dikonsultasikan dengan pimpinan fraksi.
"Namun selama itu untuk kepentingan rakyat, kami yakin pimpinan pasti mendukung," kata Ratna saat dihubungi terpisah.
Mengabaikan Fungsi DPR
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, menilai pemerintah telah mengabaikan kesimpulan rapat kerja bersama Komisi VII DPR. Ia mengatakan sikap pemerintah ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang dan mengabaikan fungsi pengawasan DPR.
"Untuk itu FPKS akan menggalang dukungan dibentuknya Pansus BBM. Agar masyarakat tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga harga BBM belum diturunkan hingga saat ini,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Mulyanto, Pansus BBM sangat penting dibentuk sebagai wujud kesungguhan DPR menindaklanjuti aspirasi rakyat terkait harga BBM. Melalui Pansus ini DPR dapat menanyakan secara rinci dan komprehensif berbagai persoalan yang menyebabkan harga BBM belum diturunkan.
Mulyanto menyebut ada hal tertentu yang perlu dikonfirmasi secara resmi oleh DPR. Apalagi sebelumnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir ada praktik oligopoli atau kartel harga BBM yang melibatkan beberapa perusahaan migas. (*)