DEMOKRASI.CO.ID - Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Koarmada I TNI-AL Letkol Laut Fajar Tri Rohadi menyatakan telah menyiagakan empat kapal perang KRI jenis Fregat dan Korvet (kapal anti kapal selam) di perairan Natuna sepanjang wilayah Indonesia.
Kapal-kapal yang digunakan untuk patroli rutin di wilayah Natuna ini disiagakan untuk antisipasi potensi konflik di Laut China Selatan, seiring meningkatnya eskalasi ketegangan antara Amerika Serikat dan China di kawasan tersebut.
"Kita menyiagakan empat KRI di Natuna, yang pertama adalah patroli rutin, karena Laut Natuna Utara itu wilayah kita," kata Fajar, Jumat (19/6).
Fajar menyebut setiap kapal yang disiagakan memiliki sekitar 100 kru yang ikut siaga. Selain itu telah ada pasukan TNI dari kesatuan yang terintegrasi yang juga bersiaga di wilayah Natuna.
"Pasukan di Satuan TNI terintegrasi (yang berjaga di Natuna) ada. (Kalau untuk kapal) satu KRI rata 100 (personel)," kata dia.
Menurut Fajar, kesiapan TNI di wilayah Natuna telah dilakukan sejak lama, sebelum terjadi eskalasi ketegangan China-Amerika.
"Pasti kita akan terus melindungi kedaulatan dan kepentingan NKRI. TNI AL dalam hal ini Koarmada I terus menyiagakan unsur KRI di Natuna dan antisipasi meluasnya dampak naiknya tensi di LCS," kata Fajar.
Eskalasi ketegangan antara AS dan China di Laut China Selatan (LCS) kembali meningkat belakangan ini, dipicu manuver Amerika menerjunkan tiga kapal induk di kawasan tersebut, Kamis pekan lalu.
Ketiga kapal induk itu masing-masing USS Theodore Roosevelt, USS Nimitz, dan USS Ronald Reagan. Masing-masing kapal induk dilaporkan mengangkut 60 pesawat. pada Kamis lalu.
LCS sendiri jadi salah satu titik rawan konflik antarnegara. Di kawasan ini sejumlah negara saling klaim atas kedaulatan teritorial berikut pulau-pulau di sekitarnya.
Negara-negara yang terlibat saling klaim kedaulatan antara lain China, Vietnam, Malaysia, Filipina, Taiwan, hingga Brunei Darussalam.
Posisi Indonesia, seperti ditegaskan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi adalah konsisten berdasarkan norma internasional yang tertuang dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) yang disahkan pada 1982.
"Di Laut China Selatan, Indonesia memiliki klaim tumpang tindih terkait perbatasan maritim hanya dengan Malaysia dan Vietnam," kata Retno.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang disepakati pada 1982 dan mulai berlaku pada 1994 menetapkan kerangka hukum untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanan negara-negara pantai dengan kepentingan negara-negara pelaut.
UNCLOS menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu 200 mil wilayah laut yang memperluas hak eksploitasi tunggal kepada negara-negara pesisir atas sumber daya laut. Namun, ZEE tidak pernah dimaksudkan berfungsi sebagai zona keamanan, dan UNCLOS juga menjamin hak lintas yang luas bagi kapal laut dan pesawat militer.
Sementara itu juru bicara Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga Dahnil Anzar Simanjuntak memastikan Indonesia tidak akan memihak China maupun Amerika Serikat di Laut China Selatan.
Menurutnya, justru bahaya jika memihak salah satu negara, karena bakal berimplikasi wilayah Indonesia jadi medan perang dua negara tersebut.
"Kalau sampai kemudian kita jadi proxy maka kawasan kita akan jadi battle ground. Jadi kawasan perang. Jangan lupa lho, banyak negara super power jarang sekali mereka melakukan perang atau battle ground-nya di negara mereka sendiri," kata Dahnil dalam sebuah diskusi online, Kamis (18/6). []