DEMOKRASI.CO.ID - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tegas menolak Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang akan segera dibahas DPR.
Dewan Pimpinan MUI menerbitkan maklumat Kep-1240/DP-MUI/VI/2020 menyikapi RUU HIP. Maklumat diteken Waketum MUI Muhyiddin Junaidi dan Sekjen Anwar Abbas, bersama 34 pengurus provinsi.
Seruan penolakan MUI pada RUU HIP karena tidak mencantumkan TAP MPRS 25/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI. Hal ini dikhawatirkan akan membangkitkan kembali faham komunis di Indonesia.
Dewan Pakar ICMI Pusat Anton Tabah Digdoyo menyebukan, bahwa sudah tepat MUI menerbitkan maklumat tersebut.
Menurutnya, penyusunan RUU HIP adalah salah satu indikasi dari langkah membangkitkan nilai-nilai komunisme di Indonesia.
"RUU HIP ini hanya salah satu indikasi dari indikator lain yang telah lama diketahui rakyat. Antara lain, kemesraan dengan negara komunis terbesar di dunia Republik Rakyat China," ujar Anton Tabah saat dihubungi redaksi, Sabtu (13/6).
Indikasi lainnya, kata dia, ketika Presiden Joko Widodo meneken Keputusan Presiden 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang ditetapkan setiap 1 Juni dan menjadi hari libur nasional.
"Padahal Pancasila yang telah diakui secara aklamasi dalam berbagai sidang BPUPK versi 18/8/45 seperti yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 dengan urut-urutan sila silanya," kata Anton.
"Sedangkan, Pancasila versi 1 Juni 45 sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditaruh di sila ke 5, bahkan hilang menjadi Ekasila, Gotong Royong," dia menjelaskan.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah belakangan gencar mempersilahkan tenaga kerja asal China untuk masuk ke Indonesia.
Dengan indikasi tersebut, bagi Anton, tidak salah jika penyusunan RUU HIP diartikan sebagai langkah mempersilahkan faham komunisme kembali bangkit.
"Karena itu, sangat tepat maklumat MUI menolak RUU HIP juga RUU lainnya yang merongrong Pancasila dan NKRI," tegasnya. (*)