DEMOKRASI.CO.ID - Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane menilai fenomena rangkap jabatan oleh TNI-Polri aktif di posisi sipil makin menggelisahkan aparatur sipil negara (ASN).
Menurutnya, selain menjadi komisaris, setidaknya ada tiga jenderal polisi aktif duduk di kementerian.
"IPW mendesak ketiganya segera pensiun dini, jika tidak, ya segera mundur dari jabatannya di kementerian maupun komisaris," kata Neta dalam siaran persnya, Selasa (23/6).
IPW berharap Presiden Jokowi dan kabinetnya jangan mengulang kebobrokan rezim Orde Baru dan melanggar undang-undang.
IPW mengingatkan, soal rangkap jabatan ini telah diatur di UU TNI Nomor 34 Tahun 2004. Misalnya di Pasal 47 Ayat 1, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keperajuritan.
Berkaitan dengan itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 yang melarang TNI dan Polri duduk di jabatan pimpinan tinggi (JPT) ASN.
"IPW berharap pejabat TNI Polri bisa taat UU," tegas Neta.
Dia menambahkan UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa polisi tidak boleh merangkap jabatan di luar tugas-tugas kepolisian, apalagi jika anggota itu masih jenderal aktif.
Pasal 28 Ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
IPW menilai MenkumHAM Yasonna Laoly dan menteri kelautan dan perikanan sudah menabrak UU ini.
Sebab, kata dia, keduanya mengangkat perwira Polri aktif menjadi pejabat di kementeriannya.
Perwira tinggi Polri itu tak mundur dari institusinya dan dibiarkan tidak beralih status menjadi ASN.
Mereka adalah Komjen Andap Budhi Revianto yang diangkat menjadi Inspektur Jenderal KemenkumHAM yang masa aktifnya di Polri masih lima tahun lagi.
Irjen Reinhard Silitonga yang diangkat menjadi Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang masa pensiunnya di Polri masih sangat panjang, yakni enam tahun lagi.
Sementara Komjen Antam Novambar yang diangkat sebagai pelaksana tugas Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan masa pensiunnya tinggal lima bulan lagi.
"Langkah kedua menteri itu tentu akan membuat ASN frustrasi. Seolah alumni Akpol adalah warga negara kelas satu. Menkumham dan Jokowi yang membiarkan hal ini seakan hendak kembali ke era Orba," kritik Neta.
Sebab, Neta melanjutkan, di era Orba cukup banyak pejabat militer yang menduduki posisi jabatan sipil maupun rangkap jabatan. "Era ini yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI," tegasnya.
dIA menambahkan saat Orba tumbang, rakyat mempermasalah soal Dwifungsi ABRI dan rangkap jabatan militer ini sehingga di awal reformasi Dwifungsi dan rangkap jabatan ini dihilangkan.
Namun, kata dia, di era Presiden Jokowi, rangkap jabatan dan Dwifungsi ini muncul lagi dengan gaya baru.
"Jokowi memberi peran yang cukup besar pada kalangan kepolisian, sehingga muncul istilah Dwifungsi Polri. Selain menjadi menteri dan komisaris, cukup banyak posisi sipil yang dipegang jenderal polisi," papar Neta.
Menurut Neta, Soeharto memanjakan militer. Jokowi sangat memanjakan jenderal polisi. Sepertinya strategi dwifungsi ini adalah strategi balas jasa.
"Jika Soeharto balas jasa ke kalangan militer, Jokowi melakukan balas jasa ke kalangan Polri," ungkapnya.
Dia berpendapat Jokowi boleh saja menerapkan politik balas jasa seperti Soeharto, tetapi tetap harus patuh dengan UU. Untuk itu, Neta mendesak jenderal polisi yang menjadi menteri ataupun komisaris BUMN harus mundur dari Polri, seperti yang diamanatkan UU.
"Mereka jangan mau seenaknya saja di negeri demokrasi ini," pungkasnya. (*)