DEMOKRASI.CO.ID - Nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto masih menjadi sosok terkuat pilihan rakyat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti.
Hal itu dapat dilihat dari hasil survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia per Mei 2020. Survei tersebut menunjukkan bahwa Prabowo Subianto berada di nomor urut wahid dengan elektabilitas 14,1 persen. Dia mengangkangi 14 tokoh lainnya dalam survei.
Namun demikian, hasil survei tersebut diragukan oleh analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun.
Ubedilah menilai bahwa sejak Pemilu 2014, kredibilitas lembaga survei sudah diragukan. Dia pun menjadi menjadi salah satu yang ragu dengan hasil lembaga survei.
“Sejak 2014 publik sudah ragu pada lembaga survei,” terangnya, Rabu (10/6).
Keraguan itu pun diakibat beberapa hal. Pertama, lembaga survei acapkali menjadi bagian atau pernah menjadi bagian penting dari tokoh-tokoh yang di survei, baik menjadi konsultan partai politiknya maupun tim suksesnya.
“Silakan cek ke semua DPP partai politik lembaga survei tersebut menjadi bagian dari konsultan atau lembaga risetnya partai atau tim survei dari tim sukses sang tokoh. Bagaimana bisa berlepas diri dari kepentingan subyektifnya?” ujar Ubedilah Badrun.
Kedua, sambung Ubedilah, lembaga survei selalu menolak membeberkan data mentah survei untuk dapat diakses oleh publik.
“Ini soal uji kebenaran metodologi. Apa benar metodologinya? Dari teknik sampling, pengumpulan data, analisa data, sampai interpretasi data. Benarkah survei tersebut metodologinya? Bagaimana membuat kesimpulan dari survei yang dilakukan via wawancara sambungan telepon?” kata Ubedilah.
Terakhir, kata Ubedilah, keraguannya kepada lembaga survei tersebut lantaran persoalan biaya yang digunakan dalam melakukan survei. Sebab, hingga saat ini belum ada lembaga survei yang keuangannya bisa diakses secara transparan.
“Ini juga problem yang memiliki korelasi. Sebab sedikit banyak pembiayaan survei itu tentu memiliki motif atau tujuan. Pada titik itu lembaga survei sulit untuk tidak bias kepentingan,” tegasnya.
“Ada ruang yang mungkin agar hasil surveinya tidak sepenuhnya di publikasi. Saya kira tiga argumen itu yang membuat keraguan publik pada lembaga survei juga muncul,” pungkas Ubedilah.[psid]