DEMOKRASI.CO.ID - Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melihat Pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) membuka kerentanan struktural APBN yang telah menahun. Seperti terbatasnya kapasitas fiskal, besarnya beban belanja terikat, defisit anggaran yang telah menjadi norma, dan ketergantungan pada pembiayaan utang yang masif.
Berbekal Perppu No. 1/2020 yang kini telah disahkan sebagai UU, pemerintah merombak postur dan alokasi APBN 2020 secara signifikan hanya dengan Perpres. Atas nama penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan dari dampak Covid-19.
Melalui Perpres No. 54/2020, defisit anggaran melonjak drastis dari semula Rp307 triliun (1,76 persen dari PDB) menjadi Rp853 triliun (5,07 persen dari PDB), dengan pembiayaan utang menembus Rp1.000 triliun.
“Kapasitas fiskal yang terus menurun dalam 5 tahun terakhir dari 10,9 persen menjadi hanya 9,6 persen dari PDB, diproyeksi semakin jatuh setelah Covid-19,” tutur, Direktur IDEAS Yusuf Wibisono, pada soft launching hasil riset IDEAS yang bertajuk ‘Wajah APBN Pasca Covid-19’, Kamis (14/5).
Yusuf menambahkan bahwa tax ratio APBN 2020 yang semula ditargetkan 10,7 persen dari PDB dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, pasca pandemi turun menjadi hanya 8,7 persen dari PDB, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2,3 persen. Proyeksi ini bisa semakin memburuk seiring asumsi pertumbuhan ekonomi yang bergerak ke arah -0,4 persen.
Dengan politik anggaran yang sangat terbuka terhadap utang, jatuhnya kapasitas fiskal di masa pandemi ini segera ditutup dengan utang untuk menopang belanja tidak terikat (discretionary expenditure).
Pada APBN yang penuh dengan belanja terikat seperti belanja birokrasi dan bunga utang, stimulus fiskal yang signifikan harus dilakukan dengan utang yang sangat massif. Apapun dilakukan hingga Perppu No. 1/2020 menabrak aturan pengelolaan makroekonomi yaitu diizinkannya BI membeli SBN di pasar primer.
“Stimulus ekonomi melawan dampak Covid-19 melalui Perppu No. 1/2020 harus dibayar amat mahal yaitu dengan mencabut aturan disiplin anggaran pemerintah sekaligus monetisasi defisit anggaran oleh bank sentral,” kata Yusuf Wibisono.
Dengan timbunan utang sebelum pandemi, stok utang pemerintah semakin melonjak. Per Maret 2020, stok utang pemerintah tercatat Rp5.192 triliun atau sekitar 32,1 persen dari PDB, berlipat dua dari posisi Oktober 2014 yang Rp2.601 triliun. Pada akhir tahun, stok utang pemerintah diperkirakan akan mencapai Rp5.784 triliun atau 34,4 persen dari PDB.
“Kenaikan utang pemerintah setelah masuk pandemi semakin mengkhawatirkan. Dalam tiga bulan pertama 2020, stok utang pemerintah rata-rata bertambah Rp138,2 triliun per bulan, melonjak empat kali lipat dari rata-rata periode Juli 2013-Desember 2019,” ujarnya menambahkan. []