DEMOKRASI.CO.ID - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana kembali membuka sekolah pada pertengahan Juli 2020. Namun, hal ini bisa terlaksana jika memang ada indikator pendukung yang kuat.
Salah satu indikatornya adalah kurva positif corona sudah turun secara drastis di semua daerah. Tanpa adanya indikator yang kuat, memulai kembali aktivitas sekolah akan mempunyai risiko besar menyebarnya virus corona. Mengingat intensifnya interaksi selama proses belajar mengajar di kelas.
Karena itu, anggota DPD RI, Fahira Idris mengatakan, awal tahun pelajaran baru yang jatuh sekitar pertengahan Juli diharapkan tidak lagi menjadi patokan dimulainya aktivitas sekolah. Mengingat pandemik Covid-19 di Indonesia belum tahu kapan mereda.
Walau nanti pembukaan kembali aktivitas belajar mengajar di sekolah sudah benar-benar menerapkan protokol kesehatan atau bahkan menerapkan beberapa sistem misalnya menggunakan sif agar antarsiswa ada physical distancing, tetap saja berisiko selama belum terjadi penurunan kasus secara drastis.
“Untuk pembukaan sekolah, saya harap kita semua bersabar sampai kondisi benar-benar aman dan nyaman. Jika kita patok harus pertengahan Juli karena tahun ajaran baru, orang tua akan waswas dan tidak ikhlas, sehingga suasana belajar mengajar juga jadi tidak menyenangkan," ujar Fahira Idris di Jakarta (15/5).
Dia menambahkan,"Makanya biar semua nyaman, kita tunggu sampai kurva positif corona baik di daerah maupun secara nasional ada penurunan yang signifikan.”
Menurut Fahira, sangat banyak ruang interaksi yang harus mendapat perhatian untuk diterapkan physical distancing jika sekolah kembali dibuka saat angka paparan covid masih belum turun.
Selain di kelas dan di lingkungan sekolah, yang juga harus dipikirkan adalah bagaimana agar selama perjalanan pulang dan pergi sekolah siswa juga aman terutama mereka yang harus menggunakan transportasi publik.
Oleh karena itu, sekali lagi, untuk menghilangkan berbagai risiko, terjadinya penurunan kasus positif corona secara signifikan harus jadi indikator utama pembukaan kembali aktivitas sekolah.
“Dalam kondisi tidak normal atau bahkan jauh dari normal seperti ini, pilihan kita hanya satu, mengambil kebijakan yang mengutamakan keselamatan dan yang risikonya paling minim. Walau kebijakan ini harus mengorbankan hal-hal lain. Bukan hanya untuk bidang pendidikan, tetapi juga untuk bidang kehidupan yang lain,” tegas Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini.
Saat ini, lanjut Fahira, selain terus mematangkan dan memantapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ), yang juga harus dibenahi Pemerintah terutama kementerian terkait adalah segera mencari solusi dan menyelesaikan persoalan siswa-siswa di beberapa penjuru tanah air yang PJJ-nya tidak maksimal.
Sebab, selain kendala jaringan internet dan listrik, masih banyak terdapat siswa yang tidak mempunyai fasilitas pendukung utama seperti ponsel karena keterbatasan ekonomi.(rmol)