DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo atau Jokowi meneken Peraturan Presiden nomor 60 tahun 2020 pada 14 April lalu. Regulasi tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur) dinilai sejumlah aktivis lingkungan sebagai lampu hijau reklamasi Teluk Jakarta yang telah dihentikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Para aktivis juga menilai regulasi itu bakal memperparah kerusakan lingkungan. Mereka pun ramai-ramai mengkritisi dan mendesak Perpres 60 itu dicabut. Pengembang reklamasi Teluk Jakarta telah berusaha untuk memuluskan pembuatan pulau urukan tersebut.
Berikut perjalanan reklamasi Teluk Jakarta yang telah dihentikan dan berpotensi kembali dilanjutkan pembangunannya:
Anies Dilobi Pengembang
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkali-kali dilobi pengembang reklamasi agar proyek pengurukan laut di Teluk Jakarta itu tak dihentikan. Lobi antara lain mereka lakukan melalui Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Mantan ketua tim sinkroninasi Anies-Sandiaga, Sudirman Said, membenarkan adanya pertemuan antara pengembang reklamasi dan Anies di rumah Prabowo di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, itu. "Aku dengar pertemuan itu," ujar Sudirman saat dihubungi, Senin, 23 Oktober 2017
Pertemuan yang dibalut acara makan siang itu terjadi pada awal Agustus lalu. Kala itu, Prabowo mengundang Anies ke rumahnya. Ternyata, di sana telah ada Richard Halim, anak Sugianto Kusuma alias Aguan, pemilik Agung Sedayu Group--induk perusahaan pengembang reklamasi Pulau C dan D, PT Kapuk Naga Indah. Ada pula bos Grup Artha Graha, Tomy Winata, dan tangan kanan Aguan, Ali Hanafi.
Menurut orang dekat Anies, atas perintah Tomy, Ali Hanafi menjelaskan lebih jauh soal proyek reklamasi kepada Anies. Dia membawa segepok berkas mengenai apa saja yang telah dilakukan PT Kapuk Naga Indah. Tomy dan Richard juga menyatakan bahwa pengembang bersedia membayar kontribusi tambahan sebesar 15 persen. "Intinya, mereka menjelaskan proyek itu telah berjalan," kata sumber Tempo yang mengetahui pertemuan itu.
Lobi pengembang tak cuma itu. Mereka berusaha mendekati Anies sejak masa kampanye pemilihan gubernur lalu. Ali beberapa kali membujuk Anies agar bersedia datang ke kantor Aguan di Yayasan Buddha Tzu Chi, Pantai Indah Kapuk. Tapi Anies selalu menolak.
Anies Cabut Izin Reklamasi
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi mencabut semua izin terkait reklamasi teluk Jakarta. Anies mengatakan, pencabutan dilakukan setelah Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta melakukan verifikasi terkait semua izin di 13 pulau buatan itu.
"Bisa saya umumkan bahwa kegiatan reklamasi telah dihentikan, reklamasi bagian dari sejarah bukan bagian dari masa depan Jakarta," kata Anies di Balai Kota, Rabu, 26 September 2018.
Tiga belas pulau itu adalah pulau A, B, E, I, J, K, M, O, P, Q, H, F, M. Para pemegang izin pulau reklamasi antara lain PT Kapuk Naga Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah, PT Pembangunan Jaya Ancol dan lain-lain.
Anies mengatakan, pencabutan izin dilakukan menggunakan Keputusan Gubernur dan surat pencabutan izin. Terhadap bangunan yang sudah terlanjur ada, Anies mengatakan pemerintah DKI sedang melakukan monitoring dampaknya.
Bangunan di Pulau Reklamasi Dapat IMB
Pemerintah DKI menerbitkan IMB untuk bangunan di Pulau D -- yang sekarang bernama Pantai Maju -- pada November 2018. Penerbitan IMB itu didahului penyegelan 932 bangunan oleh Anies pada Juni 2018. Penerbitan IMB dilakukan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) berdasarkan pengajuan PT Kapuk Naga Indah (KNI) selaku pengembang Pantai Maju.
Alasan Anies menerbitkan IMB karena PT KNI telah membayar denda dan pengembang memiliki dasar hukum dalam melakukan pembangunan ratusan gedung dan rumah itu, yakni Pergub 206 Tahun 2016. Dalam aturan itu, pengembang memiliki hak 35 persen dari total luas pulau 312 hektare.
"Suka atau tidak terhadap isi pergub ini, faktanya pergub itu telah diundangkan dan telah menjadi sebuah dasar hukum dan mengikat," ujar Anies mengenai pergub yang muncul di era kepemimpinan Ahok.
Terbit Perpres Jadi Lampu Hijau Reklamasi
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengatakan Perpres Nomor 60 tahun 2020 itu harus dikritisi dan dibatalkan lantaran isinya melegalkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya pulau C, D, G, dan N.
Menurut Susan, proyek pulau buatan tersebut perlu dibatalkan karena diduga melanggar hukum, merusak sumber daya kelautan dan perikanan, serta merusak kehidupan lebih dari 25 ribu nelayan di Teluk Jakarta dan 3.500 nelayan di Kepulauan Seribu.
Selain itu, lewat Perpres itu, menurut Susan, presiden Joko Widodo alias Jokowi, lewat perpres tersebut, tak menunjukkan keberpihakan kepada nelayan dan sumber daya alam. Alih-alih memperlihatkan keberpihakan kepada nelayan di Pesisir Jakarta, Kepulauan Seribu serta kelestarian sumber kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta, justru bakal terlihat sebaliknya.
"Melalui perpres ini Jokowi menunjukkan keberpihakan kepada pengembang reklamasi yang akan menghancurkan masa depan Teluk Jakarta,” kata Susan.
Dalam ketentuan anyar berisi 141 pasal tersebut, Jokowi memasukkan empat pulau reklamasi, yaitu pulau C, D, G, dan N ke dalam golongan Zona Budi Daya 8 (Zona B8) di utara daratan Jakarta.
Disebutkan bahwa pembangunan pulau reklamasi diperuntukkan bagi permukiman, perdagangan, industri, pergudangan, pariwisata, dan pembangkit tenaga listrik. Sekretaris Kabinet Pramono Anung sempat membantah kalau peraturan itu disusun sebagai pelumas pembangunan pulau reklamasi.
Minim Perlindungan Lingkungan dan Masyarakat
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu, 13 Mei 2020, menilai aturan yang menggantikan regulasi sebelumnya, yaitu Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur tersebut, banyak merugikan.
Ia menilai mulai dari komitmen penyelamatan lingkungan yang belum memadai, perlindungan masyarakat yang sangat lemah dan rentan kehilangan sumber-sumber kehidupan, hingga rencana kelembagaan yang juga tidak memadai.
Sehingga pengaturan mengenai pulau-pulau reklamasi menjadi tidak tepat. "Karena pengaturan ruang pesisir 0-12 mil diatur dalam UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil."
Seandainya pun mau dimuat dalam perencanaan, yang paling tepat adalah dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta, kata Raynaldo.
"Hanya saja seperti yang kita ketahui Gubernur DKI Jakarta sudah berjanji untuk tidak melanjutkan reklamasi. Pengaturan pulau-pulau reklamasi berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum,” ujar dia.
Direktur WALHI Jabar Meiki Paendong menegaskan Perpres itu belum menunjukan semangat perlindungan lingkungan hidup dan ekologi yang utuh. Kawasan perkotaan Jabodetabekjur masih dipandang sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi, yang pada akhirnya lingkungan hiduplah yang harus mengikuti.
Meiki meminta agar Perpres itu ditinjau ulang dengan tentunya lebih mengedepankan penerapan prinsip kehati-hatian sejak dini (Precautionary Principle) dan azas semangat perlindungan lingkungan hidup. "Bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomi kapital," ujarnya.
Regulasi Penataan Pulau Utama Bukan Reklamasi
Raynaldo Sembiring mengatakan Perpres 60 salah alamat. Sebab, ketentuan tersebut semestinya untuk penataan ruang darat pulau utama, bukan pulau reklamasi. Alasannya, kata dia, perpres tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.
Atas dasar itu, menurut Raynaldo, pengaturan mengenai pulau-pulau reklamasi dalam perpres tersebut menjadi tidak tepat dan berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum.
“Karena pengaturan ruang pesisir 0-12 mil diatur dalam Undang-Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil atau RZWP3K. Seandainya pun mau dimuat dalam perencanaan, yang paling tepat adalah dalam RZWP3K DKI Jakarta. Hanya saja seperti yang kita ketahui Gubernur DKI Jakarta sudah berjanji untuk tidak melanjutkan reklamasi,” ujar Raynaldo dalam acara diskusi via daring yang digelar pada Rabu siang, 13 Mei 2020.
Raynaldo mengatakan bahwa penataan ruang harus dijalankan berdasarkan asas kepentingan umum dan berkelanjutan. Ia mencontohkan salah satu pulau reklamasi, yaitu pulau G, izinnya pernah digugat di pengadilan.
Pertimbangan hakim menyatakan kalau pulau G melanggar asas kepentingan umum dan dapat merusak lingkungan. “Pertimbangan tidak pernah dianulir dalam tahap banding maupun kasasi. Karenanya masuknya pulau G dalam Perpres ini sebenarnya menunjukkan ketidakcermatan dalam penyusunan,” tutur dia. []