Oleh: Salamuddin Daeng
MENGAGETKAN memang! Sebuah sumber kredibel dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), BUMN non financial dengan asset terbesar di tanah air menyebutkan bahwa sebagian besar yakni sekitar 70 persen biaya dalam operasional PLN bersifat regulated. Artinya manajemen tidak akan secara leluasa untuk melakukan langkah dan strategi dalam menekan biaya (cost), yang saat ini sudah sangat membebani PLN.
Bahkan, di saat penurunan harga energi primer yang seharusnya PLN dapat menekan biaya secara signifikan, ternyata manajemen tidak dapat melakukan apa apa dikarenakan seluruh biaya telah dicengkram oleh berbagai peraturan dan kontrak.
Salah satu yang paling besar adalah skema atau aturan pembelian listrik swasta. Dalam laporan keuangan PLN disebutkan bahwa pada tahun 2015 Perusahaan PLN dan entitas anak menetapkan bahwa beberapa perjanjian pembelian tenaga listrik dan perjanjian pembelian energi dengan Penghasil Listrik Independen IPP memenuhi persyaratan sebagai sewa dengan dasar bahwa Perusahaan dan entitas anak dan IPP memiliki perjanjian take or pay.
Di mana perusahaan dan entitas anak mengambil hampir seluruh listrik dan energi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik. Jenis perjanjian ini ditetapkan sebagai sewa pembiayaan dimana porsi signifikan dari risiko dan manfaat atas sejumlah pembangkit listrik telah dialihkan ke Perusahaan PLN dan entitas anak perusahaan PLN dengan dasar bahwa masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset dan terdapat opsi beli pada akhir masa sewa.
Selanjutnya listrik yang dihasilkan pembangkit listrik PLN dan listrik yang dibeli dalam skema take or pay kepada swasta lalu dijual PLN kepada masyarakat. Nilai penjualan listrik PLN pada tahun 2017 mencapai Rp 263,477 triliun. Sementara pendapatan usaha PLN secara keseluruha mencapai Rp 272,897 triliun.
Akibatnya beban usaha PLN sangat besar. Sebagian besar beban usaha PLN telah regulated sulit dikurangi atau ditekan dikarenakan beban tersebut sebagian besar bersumber dari regulasi dan berbagai UU dan peraturan Pemrintah telah mematok harga energy preimer, menentukan ukuran penusutan melalui revaluasi asset, dan kontrak kontrak pembelian listrik swasta oleh PLN.
Jumlah Beban Usaha PLN tahun 2017 mencapai Rp 308,188 triliun. Beban tersebut terdiri dari Beban bahan bakar dan pelumas merupakan komponen terbesar dalam beban PLN yakni mecapai Rp 137,266 triliun atau sebesar 44.5 persen dari total biaya. Selanjutnya beban terbesar kedua adalah beban pembelian listrik swasta yakni mencapai Rp 84,267 triliun atau 27,3 persen dari total biaya.
Beban terbesar selanjutnya adalah beban pemeliharaan Rp 20,737 triliun dan beban penyusutan Rp 30,744 triliun. Nilai penyusutan yang besar bersumber dari revaluasi asset yang dilakukan oleh PLN yang meningkatkan nilai asset hingga mencapai 150 persen. Penyesuaian ke nilai terpulihkan atas aset yang menggunakan model biaya, dan penyesuaian ke nilai terpulihkan atas aset tetap yang menggunakan model revaluasi dan melebihi saldo surplus revaluasi untuk aset tetap tersebut dicatat sebagai beban lain-lain yang merupakan bagian dari penghasilan (beban) lain-lain - bersih. Beban penyusutan dan pemeliharaan sangat besar mecapai 16.7 persen dari total beban operasional PLN.
Beban keuangan lainnya adalah beban kepegawaian PLN, nilainya mencapai Rp. 22,950 triliun. Jumlah pegawai PLN pada akhir Desember 2018 sebanyak 54.255 orang. Produktivitas pegawai pada tahun 2018 mencapai 4.324 MWh/pegawai dan 1.326 pelanggan/pegawai. Dengan demikian setiap pegawai PLN dapat menerima upah Rp 423 juta setiap orang setiap tahun.
Beban operasional PLN sangat tinggi karena harus membeli energy primer yakni minyak, gas, batubara yang sangat mahal, menanggung beban pemeliharaan pembangkit yang tidak produktif, dan menanggung beban penyusutan akibat revaluasi asset. Nilai beban usaha keseluruhan PLN mencapai Rp 308,188 triliun. Sangat besar dibandingkan kemampuan penjualan perusahaan yang nilainya hanya mencapai Rp 263,477 triliun. Akibatnya kerugian tahun 2018 Rp -7,366,353 berdasarkan laporan keuangan.
Belum lagi, ditambah dengan kerugian akibat harus membeli semua energy primer dan listrik swasta dengan dolar. Sementara harus menjual listrik ke masyarakat dalam mata uang rupiah. Ini sangat buruk sekali dikarenakan penerimaan rupiah. Sementara kewajiban dalam dolar. Bebarapa tahun terakhir rupiah dianggap sebagai mata uang “sampah” yang sangat rentan terhadap depresiasi. Akibatnya kerugian kurs mata uang loss on foreign asing - bersih yang dialami PLN mencapai Rp 10,926 triliun.
Sangat mengkuatirkan praktek keuangan semacam ini. Sementara pada bagian lain PLN harus berdarah darah menghadapi beban bunga yang sangat besar, jauh di atas rata rata beban bunga yang dihadapi perusahaan BUMN lain. Akibatnya PLN menderita beban keuangan sangat besar mencapai Rp 21,624 triliun atau sekitar 7 persen dari beban secara keseluruhan, setara dengan seluruh beban karyawan perusahaan tersebut. Bagaimana nanti nasibnya ketika PLN hanya dijadikan sebagai perusahaan distributor listrik?