DEMOKRASI.CO.ID - Empat hari setelah penobatannya sebagai Tsar atau Kaisar Rusia, Nicholas II telah mencatat sejarah kelam untuk warganya.
Hari itu, 18 Mei 1896, ia menggelar pesta rakyat yang kemudian menjadi malapetaka bagi ribuan rakyatnya. Sebanyak 1.429 orang tewas terinjak-injak di Lapangan Khodynka, Moskow.
Peristiwa yang terjadi 124 tahun lalu itu adalah sebuah tragedi mengerikan. Dunia mencatatnya sebagai Tragedi Khodynka.
Nicholas II memilih Lapangan Khodynka sebagai acara pesta rakyat untuk meramaikan penobatannya karena ukurannya yang besar, yang diperkirakan mampu menampung ribuan rakyat yang mayoritas berasal dari kalangan petani dan kaum pekerja.
Lokasi itu juga dianggap sebagai pusat suci Kekaisaran Rusia. Itu akan menguatkan legitimasi Nicholas sebagai tsar dan keterkaitannya dengan otokrasi lama yang diperintah nenek moyangnya, seperti dikutip dari BBC News. Namun, Khodynka memiliki tanah yang tidak rata serta dikelilingi parit. Hal yang kemudian menjadi salah satu dukungan terjadinya tragedi tersebut.
Pesta itu menjanjikan makanan mewah dan gratis untuk semua rakyatnya yang diundang. Tersedia juga bir sepuasnya serta suvenir cangkir enamel yang memuat tanggal penobatan Tsar Nicholas II, yang konon terbuat dari emas.
Sejak pukul 6 pagi, kerumunan orang sudah terlihat di lapangan. Jumlah yang datang konon mencapai 500 ribu orang! Jauh melampaui perkiraan. Mereka seperti lautan manusia.
Melihat banyaknya orang yang datang semua khawatir tidak akan cukup makanan dan koin emas dalam setiap cangkir enamel yang akan dibagikan.
Rakyat pun mulai gelisah takut tidak kebagian. Semakin siang, semakin bertambah orang yang datang. Rakyat pun mendesak maju. Sebagian memilih melepaskan diri dari kerumuman yang menghimpit tubuh mereka. Namun, sangat sedikit yang selamat. Mereka kebanyakan jatuh dan terinjak. Apalagi kondisi tanah yang tidak rata.
Sejarawan Orlando Figes melukiskan apa yang terjadi pada hari nahas itu, bahwa orang saling dorong dan jatuh.
"Orang-orang saling dorong, tersandung, lalu jatuh ke dalam parit. Mereka tewas akibat kekurangan oksigen atau terinjak-injak," katanya, dalam bukunya, A People's Tragedy: The Russian Revolution, 1891-1924.
Hanya dalam hitungan menit, 1.429 orang tewas, sementara 9 ribu hingga 20 ribu lainnya luka-luka. Aparat polisi yang berjumlah lebih dari 1.800 tidak berdaya, seperti dikutip dari Deseret News.
Anehnya, walau diwarnai tragedi, perayaan tetap dilanjutkan. Aparat polisi menyingkirkan para korban, lalu Tsar Nicholas II dan permaisurinya muncul dari balkon pada pukul 14.00.
Sejumlah kalangan mempertanyakan keganjilan itu, karena mestinya Nicholas II membubarkan pesta dan berempati terhadap para korban. Tidak mungkin jika Nicholas tidak mengetahui informasi tragedi itu sama sekali.
"Tak ada yang terjadi. Kami melihat dari paviliun ke arah kerumunan besar orang yang mengelilingi panggung, di mana orkestra memainkan lagu-lagu bertema 'Kemenangan'," Nicholas II malah mengungkapkan hal itu dalam catatannya.
Setelah menghadiri pesta rakyat di Khodynka, Nicholas II dan isteri menuju istana di Petrovsky untuk menerima sejumlah delegasi. Mereka makan malam, berpidato, dan lalu pergi ke Kremlin. Selanjutnya, Nicholas II dan istrinya pergi ke pesta yang diselenggarakan Duta Besar Prancis.
"Pesta diatur dengan sangat baik, namun cuaca panas tak tertahankan. Setelah makan malam, kami pulang pukul 02.00," kata Nicholas dalam catatan pribadinya.
Sehari setelahnya, barulah ia dan permaisuri mendatangi para korban tragedi. Hal yang disesali dan membuat marah banyak pihak. Hanya dalam hitungan hari memerintah, reputasi Nicholas II hancur di mata rakyatnya.
Nicholas II baru memerintahkan penyelidikan atas Tragedi Khodynka setelah banyak desakan. Hasilnya, tersangka utamanya adalah Gubernur Jenderal Moskow, Grand Duke Sergei Alexandrovich, yang dianggap lalai.
Namun, para bangsawan memprotes hasil investigasi. Kasus pun ditutup, beberapa perwira rendahan dijadikan kambing hitam, mereka dipecat. Rakyat Rusia semakin sakit hati dan tidak menyukai pemimpinnya. Tsar Nicholas II pun kian jauh dari rakyatnya.
Pada Februari 1917, di tengah Perang Dunia I, Nicholas dipaksa turun takhta. Pada Juli 1918, setelah 22 tahun Nicholas memerintah, kaum Bolsheviks membunuh Nicholas II dan seluruh keluarganya. (Rmol)