DEMOKRASI.CO.ID - Pertengahan tahun lalu, Presiden Joko Widodo dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan pada 2015 lalu. Vonis untuk Jokowi: membuat peraturan yang melindungi keselamatan warga dan lingkungan hidup.
Namun ketika itu ia bersama enam tergugat lain memilih mengajukan Peninjauan Kembali.
Cerita serupa terulang tahun ini, kali ini dalam kasus iuran BPJS Kesehatan.
Awalnya, pada akhir tahun lalu Jokowi meneken peraturan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 menyebut per 1 Januari 2020 peserta kelas 3 membayar premi Rp42 ribu/bulan, kelas 2 Rp110 ribu per bulan, dan kelas 1 Rp160 ribu/bulan.
Kenaikannya mencapai 100 persen. Sebelumnya premi untuk kelas 3 Rp25.500 ribu/bulan; kelas 2 Rp51 ribu per bulan; dan kelas 1 Rp80 ribu/bulan.
Tarif baru hanya berlaku hingga Maret karena pada bulan itu MA mengabulkan gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang meminta Perpres 75/2019 dibatalkan.
Setelah putusan MA, semestinya Jokowi menerbitkan peraturan baru pengganti Perpres 75/2019 yang isinya mengembalikan angka iuran sesuai perpres sebelumnya. Namun ternyata jauh panggang dari api. Jokowi tetap menaikkan premi BPJS Kesehatan lewat Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan, yang diteken Selasa (5/5/2020) lalu, dan ramai dibicarakan Rabu kemarin.
Tarif baru berlaku efektif pada 1 Juli nanti untuk peserta kelas 2 dan 1, masing-masing Rp100 ribu dan Rp150 ribu per bulan. Sementara besaran iuran untuk kelas 3 tetap Rp25.500, tapi itu hanya sampai akhir tahun. Mulai tahun depan, iuran untuk peserta kelas 3 menjadi Rp35 ribu.
Sekjen KPCDI Petrus Hariyanto mengatakan organisasinya menilai perpres baru ini adalah "cara pemerintah mengakali keputusan MA." Sementara Lokataru Foundation menyebut Presiden "mengabaikan putusan MA."
Bagi pemerintah, menaikkan iuran adalah satu-satunya cara menyelamatkan BPJS Kesehatan dari lingkaran setan defisit keuangan. Atau dalam bahasa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam rangka "menjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan". Defisit keuangan BPJS Kesehatan hampir sekitar Rp13 triliun, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani maret lalu.
Mengabaikan DPR Pula
Pemerintah juga mengabaikan DPR, kata Netty Prasetiyani, politikus dari Fraksi PKS Komisi IX, mitra BPJS Kesehatan.
Menurutnya, DPR telah menolak rencana pemerintah menaikkan premi BPJS Kesehatan sejak 2 September tahun lalu, saat rapat kerja gabungan lintas komisi dan beberapa kementerian/lembaga negara. Saat itu DPR RI masih dipimpin Bambang Soesatyo, politikus dari Partai Golkar.
Ketika itu forum sepakat sebelum premi naik, BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan harus terlebih dulu menyelesaikan masalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pembersihan data dan beberapa masalah lain.
Belum juga permintaan dikabulkan, Jokowi menerbitkan Perpres 75/2019 pada 25 Oktober 2019. Saat itu DPR sudah di bawah kepemimpinan Puan Maharani.
Netty mengatakan ketika itu banyak anggota DPR kaget, termasuk dirinya. Mereka mempertanyakan kenapa bisa-bisanya Jokowi mengeluarkan perpres saat rekomendasi rapat kerja gabungan belum dijalankan.
"Itu kami pertanyakan, kok bisa? Menurut UU MD3, keputusan rapat itu mengikat walau enggak ada sanksi. Secara etika kelembagaan harusnya dilaksanakan dulu kesimpulan rakergab (rapat kerja gabungan) dan temuan BPK itu. Ternyata dilanggar," kata Netty kepada reporter Tirto, Rabu (13/5/2020) malam.
Akhirnya, sepanjang sisa tahun sebelum tarif baru berlaku, Netty mengatakan komisinya rutin menggelar rapat dengan BPJS Kesehatan, dengan pembahasan pokok: sudah sejauh mana rekomendasi rakergab dijalankan. Desakan serupa tetap muncul setelah tarif baru berlaku. Dalam rapat kerja gabungan pada Februari lalu, DPR kembali mempertanyakan soal kenaikan tarif dan mendesak pemerintah menyelesaikan masalah-masalah temuan BPK terlebih dulu.
DPR juga mendesak pemerintah segera menjalankan putusan MA yang membatalkan Perpres 75/2019 meski terdapat klausul di dalam putusan yang menyebut Presiden diberi waktu tiga bulan untuk menerbitkan perpres baru. Dalam beberapa kesempatan rapat, DPR juga meminta ada relaksasi untuk warga yang telat bayar iuran bulanan karena terdampak pandemi COVID-19.
"Lha kok belum Juni sudah bikin perpres naikkan iuran? Enggak konsultasi sama sekali dengan Komisi IX. Sama sekali," kata Netty.
Kebijakan Ambyar
Netty menilai keputusan Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan mengabaikan rekomendasi BPK dan kritik legislatif selama berbulan-bulan bisa memunculkan ketidakpercayaan rakyat.
"Tadi pagi dapat kabar perpres baru diteken, kami bergolak di Komisi IX. Kok benar-benar ambyar, ya, kebijakan ini? Maksudnya, sudah tumpang tindih, komunikasi buruk selama pandemi, kok ada yang memberatkan lagi? Bagaimana mau mendapatkan kepercayaan masyarakat?"
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi PKB Nihayatul Wafiroh. "Ini rakyat seperti diombang-ambing. Rakyat enggak mendapat kepastian. Bahkan rakyat cenderung dipermainkan," kata perempuan yang kerap disapa Ninik, Rabu malam.
Ia menegaskan saat ini kondisi masyarakat sedang berada di titik terendah. Kenaikan iuran hanya membuat masalah bertambah menumpuk, dari mulai kondisi ekonomi memburuk, jelang lebaran tapi tidak bisa pulang kampung, hingga stres terus-menerus berada di rumah.
"Ayo, Presiden, jangan main-mainkan hati rakyat," katanya. []