Oleh: Zainal Bintang
PRESIDEN Joko Widodo mengatakan, hingga saat ini belum semua alokasi Bantuan Sosial Tunai ( BST) dan Bantuan Langsung Tunai ( BLT) disalurkan kepada masyarakat.
Perlu saya sampaikan bahwa sampai saat ini BLT Desa baru 15 persen tersalur ke masyarakat," kata Jokowi dengan mimik sedih, dikutip dari akun YouTube Biro Kepresidenan, Sabtu (16/5/2020).
Berita singkat ini dengan cepat menyebar di semua kanal media mainstream, daring dan memenuhi jagat medsos. Presiden Jokowi berterus terang apa yang terjadi di dalam internal kabinetnya: kekisruhan kinerja menteri! Ada apa? Apakah presiden kecewa, lelah dan jengkel sekaligus?
Sejumlah pesan WhatsApp yang masuk ke HP saya sejak tengah malam hingga makan sahur. Ada yang menuduh Jokowi cuci tangan; buang badan; pencitraan. Namun banyak juga yang membela mengatakan: presiden berkata jujur: apa adanya; itu “tamparan” kepada pembantunya!
Ucapan yang paling banyak dibahas adalah ketika presiden mengatakan, “artinya ada 85 persen yang masih belum diterima oleh masyarakat.” Seolah-olah Jokowi sebagai kepala negara terkoyak hatinya melihat penderitaan masyarakat yang sangat terpuruk secara bersamaan. Seratus juta lebih orang mendadak menjadi fakir miskin akibat wabah Covid-19. Tragisnya derita itu diperparah dengan imbas buruknya kinerja pembantu presiden.
Di dalam penanganan penyaluran bantuan sosial kemanusiaan yang secara tehnis sangat sederhana, kok pembantu presiden pada kedodoran. Kemana perginya para menteri kordinator pengendali kementerian tehnis? Kemana Wakil Presiden? Pembantu presiden adalah frontliner pelaksanaan operasional mitigasi. Untuk konteks penyediaan bantuan sosial kemanusiaan, itu sangat tehnis sekali. Tidak memerlukan hasil laboratorium dari kajian pakar lintas negara. Tidak memerlukan teknologi canggih.
Masuk akal jika banyak yang cemas dan sinis mengikuti lambannya proses rapid test, pcr dan drive thru dan sejenisnya, yang memerlukan teknologi maju dan belum diproduksi. Dibanding negara lain di Asean saja Indonesia tertinggal jauh, katakanlah dari Vietnam.
Adalah batu di hatinya, jika seorang kepala negara tidak terkoyak perasaannya, ketika menyaksikan di depan matanya ambruknya kehidupan ratusan juta rakyat. Dari dimensi ini lahir pertanyaan. Faktor apa yang mendorong Jokowi nekat “menampar” menterinya dan membeberkannya ke ruang publik. Tindakan Jokowi itu secara politis sangat riskan. Banyak pembantu presiden di kabinet adalah kader titipan partai politik hasil kompromi “bagi hasil” perolehan politik elektoral. Mereka memakai parpol sebagai alat pelindung diri (APD) dalam bentuk politik.
Bagaimana akibatnya, jika enam parpol koalisi pendukung itu menarik dukungannya karena tersinggung? Dipastikan 70 persen lebih suara dukungan Jokowi di parlemen akan rontok. Jokowi sepertinya sedang nekat bermain api dan berjudi. Jokowi akan pindah ke lain hati? Dukungan 85 persesn masyarakat yang belum menerima BLT itu, mungkin dia perhitungkan secara kuantitatif jauh lebih besar daripada suara keenam parpol koalisi. Bahkan sangat mungkin, sebagian besar suara konstituen enam parpol justru itulah yang bermigrasi ke dalam 85 persen yang kecewa.
Kasus ini menjadi sebuah teka teki politik yang menarik. Secara psikologis hubungan emosional antara Jokowi dengan pimpinan parpol baru satu lustrum alias sederajat balita, baru lima tahun. Mereka dipertemukan dan dipertautkan di dalam konteks kepentingan politik sesaat. Dari tahun 2014 sampai tahun 2019 hubungan emosional politis itu baru lima tahun. Itupun pasang surut. Sebuah hubungan politis yang semu dan kering dari sisi intimitas atau sincerely (ketulusan). Pasti tidak jauh bayangan hukum besi adagium politik yang terkenal : “no permanent friend and enemy, only permanent interests” ( dalam politik tidak ada kawan dan musuh abadi, yang abadi kepentingan).
Hanya enam hari setelah dilantik menjadi Menko Polhukam, Mahfud MD pada acara “Bawaslu Award” di The Kasablanka Hall, Jakarta Selatan, Jumat (25/10/2019) menegaskan, dalam politik tidak ada kawan dan musuh abadi. Politik dalam praktiknya, merupakan proses untuk mempertahankan, meraih dan mengambil bagian dalam kekuasaan.
Karena ini soal kekuasaan, kata mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) itu, maka berlaku dalil tidak ada kawan atau lawan yang abadi di politik. “Yang kemarin musuh, sekarang kawan, yang kemarin kawan menjadi lawan, politik itu memang begitu wataknya,"
Jika membuka sejarah pemunculan Jokowi priode awal sekali di panggung politik, dia lebih dikenal melalui konsep blusukan. Jokowi mengunjungi rakyat kecil yang banyak di pinggir jalan dan got. Bermukim di rumah kumuh berbahan kardus. Blusukan adalah identitas Jokowi. Jatidirinya. Boleh jadi adalah ideologinya.
Ujian terhadap ketangguhan ideologinya itu banyak diperagakan apabila muncul masalah nasional terkait nasib rakyat kecil. Jokowi sangat aktif blusukan untuk menunjukkan empati kepada rakyat kecil. Meskipun oleh karenanya dia malah banyak dicaci oleh lawan politiknya.
Pada hakekatnya, di dalam mesin kehidupan bernegara, pada diri Jokowi nampaknya posisi rakyat ditempatkan sebagai lambung (alat pencernaan) negara. Bukan jantung. Manakala lambung (rakyat) terganggu, maka terganggu pulalah mekanisme di dalam tubuh negara. Maka sehat dan stabilnya lambung yang menjadi titik tumpu Jokowi. Sementara yang ada di kepala para menteri pembantu presiden kemungkinan lain lagi yang mereka pikirkan.
Di dalam penantian malam�"malam turunnya “Lailatul Qadar” , pada sepuluh malam terakhir ganjil bulan suci Ramadhan, benak masyarakat seperti dipenuhi aneka macam fikiran atas kejadian itu. Apakah presiden akan segera mereshuffle kabinetnya? Ataukah para menteri yang memilih mengundurkan diri?
Saya tidak mau merespons pesan WhatsApp dari seorang teman pakar hukum tata negara yang menulis: siapa tahu presiden yang mengundurkan diri. Itu baru malam Laitul Qadar yang paten! Pesan itu saya langsung delete.
Astagfirullah saya membatin: Ya Allah Ya Rab selamatkan negeri kami, Amin Yra.
(Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)