Oleh: Zainal Bintang
NAMANYA M. Nuh, berdomilisi di Kampung Manggis, Jambil. Tiba-tiba terkenal gegara lelang motor “Gesits” milik Presiden Joko Widodo yang ada tanda tangannya.
Acara itu diadakan dalam acara konser amal “Berbagi Kasih Bersama Bimbo” yang digagas BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Acara ini didedikasikan selain untuk para seniman dan para pekerja seni, juga untuk kelompok masyarakat lainnya yang membutuhkan, ujar Bamsoet panggilan akrab Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Sebagai “pemenang” lelang M. Nuh terpaksa gigit jari. Batal demi hukum.
Terjadi salah faham. Panitia Konser bertujuan mencari dana dari donatur. M. Nuh menyangka dia akan diberi dana oleh panitia karena memenangi kuis senilai Rp 2,55 miliar.
Dalam sebuah video di YouTub, M. Nuh ngomong blak-blakan. “Saya dari dulu buruh bangunan,” katanya sambil tertawa renyah.
Menurutnya, hari Minggu itu (17/5) dia menonton TV, secara tidak sengaja ada siaran acara konser amal yang sudah berlangsung setengah jalan. Fikirnya itu acara kuis.
Ada enam pilihan nomor yang bisa dihubungi. Setelah berulangkali menghubungi kontak nomor 6 yang ditangani Wanda Hamidah, akhirnya bisa nyambung pada percobaan yang ketujuh kalinya.
Tak disangka-sangka ada sambungan. M.Nuh menceritakan, “Setelah masuk itu, dia langsung (ditanya) ini dari siapa. (Dijawab) ini dari Pak M. Nuh, Kampung Manggis, Jambi,” jawabnya senang.
Si penerima telepon mencecarnya, “Apakah Bapak mau ikut?”
Mengira dirinya akan mendapat hadiah, langsung menjawab, “Iya ana (saya) ikut,” sahutnya sambil terus tertawa tanpa beban.
“Yang nawarkan hadiah itu mereka sendiri. Waktu itu belum Rp 2,55 M, waktu itu sekitar Rp 500an juta hingga Rp 1 M dia nawarnya.”
Ketika angka mencapai Rp 2 miliar, ternyata pulsa di handphonenya habis. Sempat kecewa, merasa gagal dapat hadiah kuis. Dia banting handphonenya.
Tapi handphone tanpa pulsa itu tiba-tiba berdering.
Panitia menyampaikan dirinya masih tetap ikut dalam program itu. Pada angka Rp 2,55 miliar dirinya dinyatakan sebagai pemenang. Diapun loncat-loncat kegirangan.
Isterinya menjelaskan itu bukan kuis. Itu lelang. Dia yang harus membayar. M. Nuh ketakutan. Televisinya langsung dimatikan. Handphone disembunyikan di kulkas.
Besoknya berita tentang dirinya beredar luas. Dia dicari petugas dari kepolisian.
Banyak pembelajaran yang dapat ditarik dari kasus lelang motor presiden Jokowi yang kacau balau ini. Panitia penyelenggara tentunya digerakkan oleh niat baik mencari dana untuk korban wabah Covid-19. Kesungguhan niat baik dapat dilihat dari penggagasnya tokoh bangsa yang punya nama besar seperti Megawati dan Bambang Soesatyo sebagai jaminan mutu.
Tapi niat baik saja ternyata tidak cukup. Seyogyanya ada kajian serius atas kondisi psikologis masyarakat.
Kasus gagal menang “pengusaha besar” dari Jambi ini menjadi trending topic gunjingan kurang dari 24 jam setelah acara lelang dan masih berlangsung sampai sampai hari ini. Puluhan juta pengguna media sosial berselancar memberi tanggapan.
Komentar mereka yang beraneka macam berhamburan di ruang publik. Menuduh konser kisruh karena panggagasnya pekat dengan politik. Bau politiknya terlalu dominan. Berbeda dengan konser amal Didi Kempot yang bernuansa seni yang tulus dan membawa pesan kemanusiaan.
Publik menganggap panitia tidak peka terhadap perasaan masyarakat yang sedang susah karena pandemi. Selain itu, masyarakat juga sekarang ini diibaratkan sedang berkontemplasi membersihkan jiwa dari sisa polusi politik kampanye hitam selama pemilu yang menyisakan luka dan kekecewaan.
Masyarakat perlu membuat jarak dengan segala hal yang berbau politik. Mereka masih muak dan mual dengan eforia kampanye yang sarat caci maki dan ujaran kebencian.
Kesehatan bangsa sedang terganggu virus politik identitas. Saat ini rakyat butuh suasana religius ; sebuah suasana keagamaan yang khidmat untuk menenangkan perasaan dari trauma politik dan tekanan pandemi. Terlebih saat itu sedang di dalam bulan suci Ramadhan.
Jika Nabi Nuh AS diutus oleh Allah SWT untuk kaumnya di kawasan sungai Eufrat dan Tigris supaya menegur seorang raja yang zalim dan otoriter bernama Darmasyil yang egois, otoriter dan anti Tuhan.
Apa yang dialami “nabi” M.Nuh dari Jambi itu memang tidak ada hubungannya dengan pembuatan perahu atau bahtera. Urusannya soal lelang sepeda motor milik presiden yang kocar kacir.
Namun di dalam wawancara di video yang diunggah Sabtu (23/5), M. Nuh menggunakan kesempatan “menegur” keras presiden Jokowi supaya serius memperhatikan nasib rakyat kecil.
Melalui kasusnya, M. Nuh berharap Jokowi lebih terbuka matanya dan lebih peduli terhadap rakyat kelas bawah seperti dirinya.
“Mudah �"mudahan kalau pak Jokowi mendengar, mungkin ini menjadi pelajaran kita bersama. Dengan adanya kasus ini Allah menunjukkan rakyat kecil itu perlu diperhatikan kesejahteraannya”, katanya.
Akibat kesimpang siuran pemenang lelang itu, panitia kerepotan “mencuci tangan”. Sibuk memberi penjelasan kiri kanan. Mereka segera mengubah pemenang lelang. Menggantikan M. Nuh dengan anak konglomerat terkenal yang juga ketua umum partai politik.
Namun semua itu tetap tidak mampu merubah pandangan rakyat miring, yang menganggap mereka kurang memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dan kurang profesional.
Konser berdurasi dua jam itu yang dilaksanakan di studio TVRI dan disiarkan oleh sejumlah stasiun televisi swasta juga menuai kritik karena sejumlah pihak yang hadir di studio berfoto tanpa menerapkan physical distancing dan tidak menggunakan masker. Ketua MPR Bamsoet meminta maaf melalui pesan singkat (19/05) “Itu semua salah saya,” katanya.
Kasus lelang yang ricuh itu kadung menjadi anekdot politik yang gurih. Petinggi negeri menerima kiriman “hadiah lebaran” yang pahit berupa cacian dan makian dari publik. Dengan ongkos kirim yang mahal: defisit kredibilitas!
Beberapa pesan WhatsApp yang masuk ke handphone saya menitip pesan supaya menuliskan begini: kasus lelang motor yang kacau itu membuat pembesar negeri seolah sedang tersesat di jalan yang terang!
(Penulis wartawan senior dan pemerhati masalah sosial dan budaya.)