DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo adalah seorang kepala pemerintahan yang punya banyak kewenangan untuk membantu akyat miskin. Bantuan presiden itu tidak boleh parsial, tapi harus mengena ke semua masyarakat di tanah air.
Begitu tegas Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun menanggapi cara pembagian sembako yang dilakukan Presiden Jokowi.
Jika sebelumnya Jokowi memberi bantuan sembako itu secara langsung kepada warga di pinggir jalan, kali ini pembagian dilakukan ke gang-gang kecil di perkampungan Bogor, Jawa Barat.
Menurut Ubedilah Badrun, bergesernya Jokowi dari bagi sembako di jalanan ke rumah-rumah di Bogor justru mengacak-acak struktur kekuasaan formal atau otoritas formal.
“Peran Walikota Bogor dan Bupati Bogor dalam distribusi sembako cukup dikacaukan oleh ulah Jokowi seperti itu," ujarnya Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (1/5).
Alih-alih menghentikan kegiatan yang telah menuai banyak kritik, Presiden Jokowi malah membagikan sembako langsung ke rumah-rumah. Bahkan diduga pembagian itu tanpa berbasis data.
"Apakah mereka yang diberi sembako sudah diberi oleh pemerintah setempat atau belum?" kata Ubedilah.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menilai video Presiden Jokowi menelusuri rumah warga dan membagikan sembako ke gang kecil bisa muncul kecemburuan sosial. Terutama bagi warga yang benar-benar belum mendapatkan sembako dari pemerintah.
"Bagaimana warga yang lain yang tidak diberi Jokowi. Di video tersebut terlihat Jokowi seketemunya memberi sembako dan uang. Terlihat tidak menggunakan data," terang Ubedilah.
Dari peristiwa itu semua, Ubedilah menilai bahwa Jokowi keliru dalam menafsirkan tentang pemimpin yang hadir di tengah penderitaan rakyat. Padahal pemimpin hadir di tengah rakyat seharusnya dengan kebijakannya yang benar-benar pro rakyat, menyentuh rakyat banyak.
“Kalau tafsirnya tekstual seperti itu, itu mirip Robinhood. Dia lupa bahwa dia presiden," pungkas Ubedilah.[rmol]