Oleh:M. Misbakhun
ADA berita di portal CNBC Indonesia dengan judul: “Catat! Bank Indonesia Sudah ‘Cetak Uang’ Rp 500 T Lebih”.
Judul berita di atas, dalam pandangan saya cukup berhasil mencuci otak bagi yang belum mendapatkan informasi yang memadai dan dalam perihal permasalahan “mencetak uang”.
Melonggarkan GWM (Giro Wajib Minimum) itu bukan mencetak uang. Melonggarkan GWM adalah menggeser likuiditas milik yang bank yang selama ini disimpan di Bank Indonesia tanpa bunga dan digunakan oleh Bank Indonesia untuk operasi moneter sesuai kehendak hati (tentunya berdasarkan aturan di internal BI) pengambil kebijakan di Bank Indonesia.
GWM yang harus disimpan di Bank Indonesia yang dulunya 6,5% sekarang dilonggarkan menjadi 3,5%. Apakah itu mencetak uang? Bukan. Itu hanya menggeser jumlah likuiditas milik bank yang dulunya disimpan di Bank Indonesia digeser ke masing-masing bank. Apakah likuiditas bertambah? Likuiditas hanya bergeser. Dari Bank Sentral ke industri perbankan.
Apakah cukup jumlah likuiditas hasil penggeseran sebesar 503,8T tersebut untuk kebutuhan restrukrisasi kredit sektor riil mulai kredit ultra mikro, kredit mikro, KUR, kredit kelas sedang, consumer dan kredit korporasi? Sangat kurang. Karena kebutuhannya jauh lebih besar dari jumlah tersebut.
Pertama, Perbankan butuh likuiditas hasil penggeseran tersebut untuk operasional transaksi harian mereka dan untuk restrukrisasi kredit dalam rangka menjalankan POJK No.11/POJK.03/ 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Counterciclycal Dampak Covid-19.
Kedua, dengan adanya restrukrisasi maka perbankan butuh dukungan likuiditas besar karena penerimaan dari cicilan kredit debitur tidak akan diterima sebagai penerimaan rutin malah harus menambahkan likuiditas baru kepada debitur lewat restrukrisasi.
Program restrukrisasi massal ini juga akan pempengaruhi cadangan perbankan. Lalu akan mempengaruhi nilai aset. Tentunya akan menggerus modal bank. Karena sejak 2020 Perbankan Indonesia mulai menerapkan PSAK 71 dimana metode Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) menggunakan konsep expected loss. Akibatnya, bank harus menyisihkan sebagian modalnya untuk memupuk pencadangan lebih. Penerapan PSAK 71 ini membuat setiap nilai aset kredit bank yang menemui masalah akan jatuh dan menjadi beban biaya langsung.
Ketiga, perbankan butuh likuiditas untuk membantu tambahan modal baru buat para debitur yang sudah di restrukturisasi supaya bisa mengoperasionalkan kembali bisnis mereka yang terhenti akibat pandemi covid-19.
Berikutnya, lantas apakah bisa pelonggaran GWM tersebut membantu pemerintah sehingga likuiditas yang digeser ke perbankan tersebut ter transmisi menjadi penolong ruang fiskal di APBN yang sempit menjadi lebih longgar?
Gubernur BI saat melonggarkan GWM tersebut menyampaikan bahwa BI sudah ‘mencetak uang’ silahkan pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) ke pasar supaya dibeli oleh salah satunya pihak perbankan sehingga pemerintah punya uang untuk membiaya pengeluaran di APBN.
Mari kita cek, apakah SUN pemerintah laku? Berapa yields nya? Apakah mekanisme seperti yang disampaikan Gubernur BI itu ideal sebagai sebuah kebijakan dalam menghadapi situasi krisis tidak normal akibat pandemi covid-19 saat ini?
Pada 14 April 2020 pemerintah menerbitkan surat utang dengan tenor 10 tahun yield terendah yang ditawarkan 7,89% dan yield tertinggi 8,25%, akhirnya yield yang dimenangkan pada tingkat 8,21%. Dengan yield setinggi itu pun untuk ukuran SUN hanyas sebesar 9,5T tidak semua diserap pasar. Ini berlanjut untuk SUN di 30 April dan 5 Mei 2020 lalu.
Artinya penggeseran likuiditas BI hasil operasi moneter dengan melonggarkan GWM tidak membuat likuiditas perbankan kita mampu menjadi saluran transmisi bahwa uang ada di pasar ketika pemerintah menjual SUN ke pasar. Malah lebih banyak diserap fund manager asing dan mereka menikmati pesta pora SUN berbunga tinggi padahal uang hasil penjualan SUN tersebut dipakai untuk belanja APBN yang dibelanjankan dibidang kesehatan guna mengatasi oranga sakit akibat pandemi covid-19 dan program jaring pengaman sosial supaya rakyat miskin dapat bantuan kebutuhan pokok dari negara akibat penghasilan mereka tidak ada atau berkurang secara drastis karena social dan physical distancing.
Industri Perbankan Indonesia dengan LDR (Loan Deposit Ratio) sudah diatas rata-rata 93% bahkan ada yang lebih dari angka tersebut maka aset perbankan tersebut sudah banyak tersalurkan menjadi kredit kepada debitur mereka. Sudah menjadi aset kredit. Kalau pun mereka menyimpan investasi dalam bentuk SUN atau SBN (Surat Berharga Negara) pasti sudah digadaikan untuk mendapatkan tambahan dana untuk disalurkan sebagai kredit guna memperbesar size bank sebagai bukti bahwa bank mereka bekerja sebagai lembaga intermediasi keuangan dan punya aset produktif.
Tentunya aset investasi perbankan seperti aset kredit, SUN dan SBN yang sudah diagunkan untuk mendapatkan dana tidak bisa dijadikan aset yang bisa di repo ke Bank Indonesia lagi karena aset yang direpokan ke BI harus clear and clean belum pernah diikatkan sebagai jaminan ke pihak lain.
Sehingga dengan kondisi seperti yang saya sebutkan diatas, apakah kebijaka pelonggaran GWM yang dikeluarkan oleh BI seperti berita di link CNBC diatas bisa efektif mengatasi kombinasi permasalahah di sektor fiskal, moneter, perbankan dan sektor riil yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 yang sangat dalam menerpa sisi supply and sisi demand?
Jawabannya adalah permasalahan yang dihadapi terlalu kompleks untuk diatasi dengan kebijakan pelonggaran GWM dengan menggeser likuiditas.
Saya akan bahas permasalahan demi permasalahan dan bagaimana cara kita keluar dari permasalahan itu.
1. Permasalahan pemerintah butuh uang untuk menutup defisit APBN melalui mekanisme pembiayaan APBN yang hasilnya nantindigunakan menjadi belanja di APBN. Penerimaan pajak harus dibuatkan exercise skenario yang paling rasional apakah hanya 60% atau hanya 75% saja dari target penerimaan pajak yang baru hasil revisi Perpres 54/2020 sebesar 1.254,1T? Berapa persen target penerimaan dari DJBC dari target baru hasil revisi sebesar 208T yang bisa didapat? Apakah 90% atau 95%? Lalu berapa persen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari target baru hasil revisi sebesar 297,8T?
Kalau semuanya kita buatkan skenario jumlah total penerimaan nergara yang paling rasional tanpa tujuan ‘window dressing’ menjual optimisme yang tidak rasional demi membuat senang para bond holder asing maka kita akan bisa membuat skenario berapa surat utang negara yang akan dicetak. Defisit APBN saat ini dengan Perppu No.1/2020 yang sudah disetujui oleh DPR dan sudah sah sebagai Undang-Undang sudah dilonggarkan untuk APBN 2020 sampai 2022 nanti.
Kita itung semua kebutuhan utang lewat mekanisme pembiayaan dan pemerintah minta ke Bank Indonesia supaya membeli semua surat utang negara yang dicetak pemerintah tersebut. Bahasa sederhana nya Bank Indonesia mengutangi pemerintah Indonesia. Dengan cara beli semua surat utang negara yang diterbitkan. Tentunya bunga nya jangan tinggi-tinggi. Kan selama ini BI sudah sangat menikmati ‘keuntungan’ yang gigantic dari bunga surat utang negara yang sudah mereka beli dari pasar sekunder dengan bunga pasar tentunya ada diskon kalau BI yang beli karena diskon yield itu proses bisni yang wajar pada saat jual-beli surat berharga.
Untuk menangani, menanggulangi pandemi covid-19, anggaran kesehatan dan program jaring pengaman sosial membantu rakyat miskin tentunya kalau BI punya simpati dan mau pundak nya diberi beban penderitaan menolong rakyat maka zero coupon bond atau bunga 0% adalah sangat masuk akal atau kalau masih mau ada bunga nya, bunga sebesar 0,5%.
2. Sedangkan, Pemerintah juga punya Program Pemulihan Ekonomi Nasional maka surat utang negara yang harus di beli BI bunga harus rendah maksimum 2%. Surat utang yang dibeli dengan bunga rendah Ini penting untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional secara keseluruhan mulai dari usaha ultra mikro, mikro, UMKM sampai kepada korporasi besar.
Karena restrukturisasi kredit di perbankan sangat butuh insentif bantuan likuiditas baru ber bunga sangat rendah dalam jumlah yang sangat besar.
Ingat mereka semua adalah bisnis yang bekerja normal yang mendadak terhenti secara mendadak karena adanya pandemi corona-19 bukan restrukturisasi karena salah kelola perusahaan. Demikian juga dengan perbankan kita bukan perbankan yang beroperasi tanpa pengawasan yang ketat dari pihak lembaga otoritas sehingga apa yang terjadi pada aset kredit mereka mendadak non performance loan naik tinggi itu bukan masalah di mereka tapi itu terjadi pada debitur mereka yang terpapar akibat aturan social dan physical distancing pandemi covid-19.
Lantas bagaimana dengan kebiasaan yang sudah ada selama ini dimana yield SUN sudah terlanjur tinggi diserap pasar dan BI biasa menyerap SUN dengan yield tinggi tersebut dan apakah nantinya SUN berbunga 0%-0,5% sampai 2% tidak akan merusak pasar SUN yang sudah ada?
Krisis ekonomi yang dalam akibat pandemi covid-19 ini juga memberikan hikmah yang dalam juga kepada para pengambil kebijakan di sektor fiskal dan moneter baik di makro prudensial maupun di mikro prudensial. Saat ini kita punya kesempatan ulang menata kembali besaran semua urusan bunga di republik kita tercinta ini. Baik itu landing rate di perbankan, bunga surat utang negara dan bunga antar bank.
Lihat sektor riil kita apa tidak iri melihat bunga bank di Jepang yang hanya 1%. Bunga di Singapore yang hanya 2%. Bunga di Malaysia hanya 3%. Coba bandingkan dengan bunga bank di Indonesia yang sulit single digit. Kalaupun single digit dikisaran 9,99% alias landing rate pura-puranya saja single digit.
Lalu bunga surat utang negara kita yang sudah diatas kisaran 8%, sementara bunga surat utang negara vietnam hanya dikisaran 3%, bunga surat utang kerjaan Malaysia hanya dikisaran 2,8%, lalu bunga surat kerajaan Thailand pada kisaran hanya 1% dan bunga surat utang negara Singapore dikisaran hanya 0,9%.
Total PDB ASEAN hampir separohnya adalah PDB Indonesia. Makanya, negara sebesar Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya apakah pantas menjual surat utangnya dengan yield yang begitu tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya itu?
Saat ini momentum terbaik kita untuk menata ulang kembali soal bunga ini.
Bank Indonesia harus dipaksa dan dibuat mau memberikan utang-an kepada pemerintah dengan bunga 0%-0,5 sampai 2% lewat SUN khusus yang dicetak untuk kebutuhan khusus dengan bunga khusus tersebut. Non trade able SUN ini harus dipaksakan karena ini situasi tidak normal maka jalan keluarnya harus tidak normal. BI pasti tidak mau dan pasti menolak dengan berbagai alasan teknis yang intinya menjaga indipendensi bank sentral. Mulai argumentasi untuk negosiasi bagaimana kalau bunga tetap bunga pasar tapi akan diberikan remunerasi yang bisa dimanfaatkan sebagai pemotong biaya sehingga secara netto tetap kecil. Betul secara netto nya kecil tapi secara akad nilanya tetap pasar.
Supaya ada solusi paling tidak bisa menjadi tawaran sebuah konsep win-win solution maka perlu dibuat kesepakatan zona waktu di masa datang antara pemerintah sebagai pihak yang menerbitkan surat utang dan BI yang memberikan utang-an sebuah zona waktu dimana SUN berbunga rendah tadi atau non trade able dinaikkan pada kisaran biaya operasi moneter. Lalu SUN yang beredar di pasar dengan bunga di atas biaya operasi moneter BI ditarik dan diterbitkan penggantinya dengan bunga yang diturunkan setingkat dengan biaya operasi moneter BI. Sehingga yang terlalu rendah dinaikkan. Yang terlalu tinggi diturunkan.
Untuk itu, BI juga harus makin efektif dengan bersedia membuka komponen biaya operasi moneter mereka sehingga ada saling keterbukaan.
Maka kalau ini terjadi maka akan terjadi rekonstruksi ulang atas besaran tingkat bunga surat utang negara, seven days repo rate nya BI, bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAP) lalu landing rate kredit sektor perbankan dan sektor pembiayaan.
Kalau itu terjadi lantas bagaimana cara BI membeli surat utang berbunga rendah yang diterbitkan oleh pemerintah tersebut. Tentunya tidak cukup dengan teknis geser menggeser likuiditas saja. Karena kebutuhan likuiditas nya sangat besar sekali dan itu harus berupa tambahan likuiditas baru. Ingat tambahan likuiditas baru. Bukan dari geseran likuiditas yang sudah ada.
Maka Pelonggaran Quantitative (Quantitative Easing/QE) yang dilakukan oleh BI melalui operasi moneter harus sudah pada tahap mencetak uang baru. Karena QE melalui operasi moneter dengan penggeseran akibat pelonggaran GWM, kebijakan Repo, kebijakan Swap, dan PUAP sudah kurang memadai dan sudah tidak cukup mengingat skala besaran kebutuhan likuiditas baru volume jumlah nya besar sangat besar sekali.
Pertanyaan nya adalah berapa kebutuhan likuiditas kita dalam menangani pandemi covid19 saat ini? Baik untuk instrumen above the line di APBN maupun below the line melalui bantuan likuiditas yang menjadi bagian dari program pemulihan ekonomi nasional?
Ini perhitungan saya.
Total kredit perbankan dan non bank (PIP, PMN, Bahana, Pegadaian) sekitar 6.500 trliun
Kalau yg dilakukan relaksasi dan restrukrisasi 45% saja dari total tersebut maka itu sudah 2.900 triliun sendiri.
Setelah di restrukrisasi mereka harus di beri suntikan modal tambahan baru untuk menjalankan bisnis nya sebesar 30% maka itu sudah di kisaran 1.950 triliun. Relaksasi dan restrukrisasi kredit ini di semua tingkatan mulai ultra mikro, mikro, KUR, kredit menengah sampai korporasi. Bantuan negara ini harus tanpa diskriminasi.
Pemerintah butuh uang 1.000 triliun untuk dimasukkan ke APBN.
1000 Triliun untuk menangani Covid19 sampai tuntas sekitar 400 Triliun. Untuk beli APD, obat, dan lainnya baik melalui pemerintah pusat maupu pemerintah daerah.
Lalu 600 Triliun untuk jaring pengaman sosial guna menyelamatkan rakyat kecil supaya yang miskin tidak kelaparan, yang PHK bisa dapat bantuan pangan, yang di pedesaan para petani, nelayan dan para pekebun bisa tetap dapat santunan dan bantuan dari negara.
Total 2.900T+1.900T+1000T =5.800 Triliun
Jumlah 5.800 Triliun ini sekitar 34% dari total PDB kita baseline 2019 sebesar 16.820 Triliun.
Apakah ruang pelonggaran GWM, Repo dan fasilitas SWAP cukup? Tidak dan sangat kurang.
Itulah kenapa QE yang saya usulkan adalah kombinasi semua kebijakan.
Berpikir dengan gambar besar yang solutif. Design ini harus dibuat oleh negara. Negara harus menjadi konseptor tunggal jalan keluar dari krisis akibat pandemi covid-19 ini.
Kalau kita ingin keluar dari krisis pandemi ini dengan kurva V. Bukan kurva U, kurva W atau L.
Kurva V adalah kurva dimana kita tentukan skenario terburuknya. Palung paling dasar kita tentukan kedalaman kurvanya. Kita siapkan worst case scenario nya lalu kita berjalan dengan skenario terburuk tersebut. Kalau seandainua skenario terburuk tidak tercapai kita anggap sebagai bonus tapi yang pasti kita sudah menyiapkan skenario terburuk tersebut. Setelah titik palung tersebtuh secara cepat kita lakukan recovery atau pemulihan.
Kurva U, adalah kurva kita ketemu dasar palung, karena kebijakannya terlalu lama diambil jeda waktu pengambilan keputusan itu membuat kita harus berada diposisi dasar palung yang lama dan baru naik setelah keluar kebijakan yang di respon positive. Kurva W, adalah sebuah kurva adalah keadaan dalam situasi yang tidak pasti sehingga naik turunnya disesuaikan dengan respon pasar positive atau negative dimana kurva nya naik turun seperti huruf W.
Kurva L ini adalah bentuk kurva terakhir dan paling jelek sehingga jangan sampai terjadi. Sebuah kondisi kita di dasar palung. Saat didasar palung itu tidak ada kebijakan yang bagus yang di respon positive oleh pasar. Akibatnya, setelah berjalan di dasar palung mencapai ujung lalu terperosok ke dasar jurang yang dalam.
Bukan kolutif. Juga bukan konspiratif kuda troya. Ini penting. Kalau figur-figur yang sekarang tidak akomodatif dan solutif. Ya sulit negara akan keluar dari masalah krisis ekonomi akibat pandemi covid-19 ini dengan kurva V.