DEMOKRASI.CO.ID - BEBERAPA kejadian belakangan ini yang viral lantaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19 yang diabaikan membuat banyak pihak kecewa.
Sebab, satu sisi banyak warga yang mencoba menahan semua keinginan agar tetap di rumah, sementara yang lain mengabaikannya, hingga muncul kata-kata ‘Indonesia Terserah’.
Hal ini juga memantik rekasi Ustadz Felix Siauw. “Saya akui, terkadang memang ingin menyerah, atau paling tidak melampiaskan marah, pecahkan saja biar gaduh biar ramai dan apapun yang terjadi terserah! Beberapa hari ini, saya mengalami sendiri ketika harus keluar dan mengantar paket-paket makanan pada yang perlu, jalanan sudah tampak seperti biasanya,” tulisnya via akun Instagramnya.
“Di sosial media, diwakili dengan terminal 2 di bandara, juga ramai-ramai di salah satu restoran cepat saji di sarinah. Rasanya semua upaya seolah sia-sia. Sebelumnya, polemik istilah mudik dan pulang kampung, padahal esensinya sama; pergerakan manusia, yang artinya juga pergerakan virus,” lanjutnya.
Dijelaskan Felix Siauw semua tahu, virus tak bisa bergerak sendiri, maka cara membuat angka penghuni RS turun, sekaligus memberi waktu dokter dan tenaga medis, adalah #tetapdirumah
Namun, hal tersebut menjadi sulit terlaksana karena pemerintah sendiri. Nasib kita punya pemerintah yang mencla-mencle, alasannya pertimbangan kesehatan tapi juga pertimbangan ekonomi, terserah aja, esensinya sama, manusianya bergerak. Kebijakan yang satu dibatalkan kebijakan yang lain, penghuni negeri sendiri diminta sabar tak keluar, tapi yang dari luar dibolehkan untuk masuk,” tandasnya.
“Tapi nurani itu masih ada, mata dan telinga rakyat terjaga, mereka mengetahui semua itu, dan mulai muak, kesal, putus asa, tak tahu lagi mau bertanya atau mengadu kemana. Kritik pemerintah disamakan makar, memberi usulan dikata selalu mencari kesalahan, menasihati dituduh membenci. Apa pilihan terakhirnya? Indonesia terserah!,” jelasnya.
Felix mempertanyakan apakah pemerintah tak paham bahwa ini justru jeritan mereka yang sangat mencintai negerinya. “Mereka yang mungkin lebih peduli dari pejabat ongkang kaki bergaji tinggi?,” tambahnya.
“Pesan masuk, “Ustadz, salahkah saya sebagai perawat, menyerah saja dengan kondisi begini? Kami berusaha sekuatnya, tapi kami tak ada yang perhatikan kami”, begitu. Saya menjawab mengabaikan rasa hati: “Berusahalah sebaiknya, jangan sampai kesalahan orang lain membuat kita membenarkan atas kesalahan yang akan kita perbuat”,” ungkapnya.
Dia mengaku sangat sedih dengan situasi saat ini. “Sedih. Tarawih berjamaah, salat Jum’at, kajian yang dikalahkan. Seolah sia-sia. Tapi itulah, menjadi Muslim itu resikonya: kita tak boleh berhenti peduli. Walau yang punya wewenang tak peduli,” pungkasnya.[psid]