DEMOKRASI.CO.ID - Liberalisasi ekonomi dinilai semakin menonjol di era pemerintahan Joko Widodo lantaran telah menjadikan kesehatan sebagai komoditas ekonomi.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Habib Rizieq Syihab (HRS) Center, Abdul Chair Ramadhan menanggapi Perpres 64/2020 yang berisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Iuran BPJS Kesehatan di era pemerintah Jokowi sangat bervariatif. Pada Perpres 82/2018, besaran iuran ditetapkan sebesar Rp 25.500 untuk Kelas III, Rp 51 ribu untuk Kelas II, dan Rp 80 ribu untuk Kelas I. Selanjutnya Perpres 75/2019 mengalami kenaikan yakni Rp 42 ribu untuk Kelas III, Rp 110 ribu untuk Kelas II, dan Rp 160 ribu untuk Kelas I.
"Terhadap kenaikan tersebut, Mahkamah Agung telah membatalkannya. Namun ternyata pemerintah tidak menghiraukannya. Kondisi ini jelas menunjukkan ketidakpastian (ketidaktaatan) hukum terhadap putusan lembaga yudikatif," ucap Abdul Chair Ramadhan, Kamis (14/5).
Sedangkan pada Perpres 64/2020, variasi kenaikan iuran cukup beragam. Untuk Kelas III masih tetap sebesar Rp 25.500 untuk tahun 2020 naik menjadi Rp 35 ribu di tahun 2021. Sedangkan untuk Kelas II naik menjadi Rp 100 ribu dan Kelas I naik menjadi Rp 150 ribu. Kenaikan berlaku per 1 Juli 2020.
"Disebutkan pula, iuran untuk bulan Januari, Februari, dan Maret tahun 2020 yakni Rp 42 ribu untuk Kelas III, Rp 110 ribu untuk Kelas II dan Rp 160 ribu untuk Kelas I. Adapun untuk bulan April, Mei, dan Juni tahun 2020 ditetapkan Rp 25.500, untuk Kelas III, Rp 51 ribu, untuk Kelas II dan Rp 80 ribu untuk Kelas I. Perhitungan kenaikan tersebut di atas tentu mengherankan dan sekaligus membingungkan," jelas Abdul.
"Terlihat, pada periode bulan April, Mei, dan Juni tahun 2020 persis sama dengan besaran iuran menurut Perpres 82/2008. Namun, pada bulan sebelumnya (Januari, Februari, dan Maret) justru mengalami kenaikan. Begitu pun untuk tahun 2021 dan tahun berikutnya, tetap saja melebihi iuran sebelumnya (Perpres 82/2008)," sambungnya.
Khusus kenaikan yang terjadi untuk bulan Januari hingga Maret 2020 berlaku surut. Padahal, Perpres diterbitkan pada 5 Mei 2020. Hal itu dinilainya masuk pelanggaran asas legalitas. Masyarakat sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan, kata dia, telah dirugikan.
"Terkonfirmasi adanya perbuatan melanggar hukum. Tidak dapat dipungkiri, dengan berlakunya liberalisasi ekonomi telah menjadikan kesehatan sebagai komoditas ekonomi dan oleh karenanya diperdagangkan," jelas Abdul.
Karena kata Abdul, liberalisasi memang menuntut penghapusan terhadap proteksi negara, termasuk di bidang usaha kesehatan.
"Paradigma pelayanan kesehatan yang semula berorientasi kepada sosial-kemanusiaan kini menjadi komersil, sehingga pelayanan kesehatan merupakan bagian komoditi dari perdagangan bebas," kata Abdul.
Terlepas dari itu, Abdul berpandangan bahwa pemerintah harus memberikan jaminan askes kesehatan sebagai hak dasar warga negara berdasarkan konstitusi, sehingga terlalu sakral untuk diperdagangkan.
Kesehatan masyarakat adalah sesuatu hal yang prinsip, menyangkut hajat hidup rakyat. Regulasi jaminan kesehatan harus memperluas akses jaminan kesehatan berdasarkan prinsip fungsi sosial kemanusiaan.
"Di sini pemerintah dituntut perhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan rakyat, khususnya yang kurang mampu, tidak semata-mata mencari keuntungan secara komersial, tetapi lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan. Bagaimana mungkin rakyat hidup sejahtera, jika akses kesehatan semakin membebani," pungkas Abdul. (*)