DEMOKRASI.CO.ID - Anggota Komisi Pertahanan (Komisi I) DPR RI, Sukamta mengingatkan urgensi Diberlakukannya UU Ketahanan dan Kemanan Siber di tengah gencarnya kelompok Naikon, sebuah kelompok peretas asal Cina yang telah meresahkan beberapa negara. Terakhir, kelompok ini diduga telah menguasai komputer milik seorang diplomat Indonesia di Canberra, Australia, sebelum terungkap hendak melancarkan serangan mata-mata siber ke kantor pemerintahan Australia.
"Dengan adanya beberapa kasus bobolnya jutaan data pengguna Tokopedia dan Bhinneka serta diretasnya perangkat komputer milik diplomat Indonesia, sudah semakin mendesak untuk bisa diwujudkan UU tentang Ketahanan dan Keamanan Siber yang pada periode lalu belum bisa diselesaikan," kata Sukamta melalui keterangan tertulis kepadaTeropongSenayan, kemarin (12/5).
Kelompok Naikon asal Cina menjadi kelompok peretas misterius yang belakangan ini tengah meresahkan negara Australia. Negara itu diketahui menerima sejumlah masalah akibat kehadiran kelompok ini. Bahkan Australia tak ragu-ragu menuding Cina bertanggungjawab atas kejadian itu. Serangan siber yang tak terlihat itu disebut memiliki "Aria-body" dan belum pernah terdeteksi sebelumnya.
Kelompok ini sempat diungkap oleh perusahaan kemanan siber dari Israel yang menyebutkan motif Naikon adalah melakukanserangkaian serangan siber di wilayah Asia-Pasifik untuk mencari informasi intelijen geopolitik. Cara yang mereka gunakanadalah mengambil alih komputer dari jarak jauh, sehingga dapat menyalin, menghapus, atau membuat file dan melakukan pencarian ekstensif data perangkat. Canggihnya lagi, alat tersebut memiliki cara baru untuk menutupi jejaknya agar tak terdeteksi.
Kekhawatiran pun menjadi-jadi kala komputer milik diplomat Indonesia menjadi target serangannya pada 3 Januari lalu. Menurut pemberitaaan, kelompok Nikon menyerang beberapa negara tetangga Cina, seperti Filipina dan Malaysia, termasuk Indonesia. Untuk itu, Sukamta meminta pemerintah secara serius meningkatkan keamanan siber perangkat elektronik yang digunakan oleh para diplomat Indonesia di luar negeri.
"Saat ini serangan siber menjadi ancaman yang semakin nyata, meskipun tidak berbentuk secara fisik tetapi bisa menghadirkan gangguan politik yang serius. Jangan sampai perundingan atau kebijakan kita bocor karena jalur yang kita miliki tidak aman," jelas Sukamta.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menerangkan, dampak buruk lain akibat kelemahan siber adalah, negara lain akan enggan berkomunikasi dengan kita dalam isu-isu yang sensitif. Pun jika bahan-bahan diplomasi bocor karena email atau perangkat komunikasi berhasil dibobol, isinya bisa diketahui negara lain, jelas ini akan memperlemah diplomasi Indonesia karena akan mudah diantisipasi negara lain.
Kondisi ini, lanjut Sukamta, akan sangat merugikan peran-peran diplomatik yang dilakukan Indonesia. "Kami harap pihak Kemenlu perlu meningkatkan kewaspadaan soal ini dan bisa membuat protokol keamanan siber untuk para diplomat kita," ujarnya.
Lebih jauh legislator dari dapil Yogyakarta ini mengingatkan pemerintah akan ancaman siber yang lebih tinggi selama selama pandemi Covid-19. Pasalnya, situasi sekarang membuat orang-orang lebih banyak terkoneksi ke internet sehingga sangat rentan untuk diserang. Termasuk dalam hal ini misi diplomasi akan banyak melakukan interaksi secara online, mengingat di berbagai negara diberlakukan lockdown.
"Masih ada kelemahan dalam ketahanan siber kita, yang boleh jadi bukan karena soal kemampuan teknologi tetapi dari sisi koordinasi antar instansi. Disinilah menjadi penting adanya payung hukum," pungkasnya. (*)