Oleh:Nelly Siringo Ringo
DI TENGAH-tengah situasi perang melawan pendemi global corona, masih ada gangguan sosial yang juga sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Khususnya gangguan menyangkut tegaknya Demokrasi, Kemanusiaan dan Keadilan sesuai Pembukaan UUD 1945 (Manifesto Kemerdekaan Bangsa Indonesia) beserta turunannya yang berada dalam batang tubuh UUD 45 dan Undang-Undang.
Gangguan sosial (social disturbance) ini karena masih diberlakukannya Pasal 14 dan 15, UU 1/1946, tentang hukum pidana dalam hal penyebaran berita bohong dan perbuatan onar dengan ancaman hukuman paling tinggi 10 tahun.
Tentu keadaan ini menjadi perhatian kita semua, dimana melalui pasal-pasal ini, telah banyak para Aktivis dan Masyarakat Umum dijerat hukuman ala jaman kolonial.
Korban perilaku instrumen hukum yang tajam, setajam silet ini, rata-rata karena kritis dalam memperjuangkan Demokrasi, Kemanusiaan (Hak Asasi Manusia di dalamnya) dan Keadilan di Indonesia.
Sejak sebelum tersebarnya virus corona baru (Covid-19) hingga menggelombangnya penyebaran Covid-19, pasal kebohongan dan onar ini tetap menjadi senjata pembungkam nalar, cara pandang dan mulut oleh kekuasaan. Hal ini karena pasal tersebut masih berlaku.
Padahal saat ini, di era transformasi zaman di tingkat lokal, nasional dan global dengan latar belakang Covid-19, dibutuhkan Demokratisasi yang mengakar sehingga ancaman globalisasi di tengah-tengah kepentingan nasional dapat diatasi. Dan caranya adalah memberikan tempat pada pikiran-pikiran kritis setajam apapun sebagai bagian dari solusi.
Ini perspektif yang harus mampu dihadirkan Negara.
Ada banyak kaum Aktivis baik dari Kelompok Islam, Aktivis Hak Azasi Manusia, Kelompok Nasionalis, Kaum Tradisional, Pribumi dan Pejuang-pejuang keadilan yang terhukum oleh pasal karet ini.
Setelah Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE (UU ITE) yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik yang Dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar,.
Pasal UU ITE mungkin dianggap kurang tajam atau tidak dapat memberhentikan suara Rakyat yang kritis, sehingga Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 di gunakan lagi dijadikan tombak sakti kekuasaan ?
Kondisi ini tidak akan membuat sehat tatanan sosial Indonesia, ketika Ratna Sarumpaet, Yudi Syamhudi Suyuti, Ali Baharsyah, Ravio Patra, dan baru-baru ini Mohammad Said Didu dan mungkin masih banyak lagi ini diancam pasal hantu ini.
Sebagai sebuah entitas sosial, bangsa dan negara, Indonesia membutuhkan terjalinnya relasi komunikasi dua pihak antara Rakyat dan Negara yang sehat se kritis apapun, tanpa melibatkan pemidanaan. Apalagi Rakyat adalah Pemilik sah negara sesuai Konstitusi.
Sudah saatnya segala impunitas harus dihapuskan untuk tercapainya perdamaian abadi yang didasari Kemanusiaan dan Keadilan.
Oleh karena itu, pasal hantu ini harus kita gugat ! Merdeka !
(Penulis adalah Koordinator Korban JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internaaional)