DEMOKRASI.CO.ID - China menjadi bankir terbesar di dunia saat ini. Status yang cukup membanggakan, namun menjadi bumerang jika di hadapkan dengan situasi Covid-19 saat ini.
Itulah analisis yang dilakukan oleh Maria Abi-Habib dan Keith Bradsher dalam artikel yang berjudul "Poor Countries Borrowed Billions from China. They Can’t Pay It Back". Artikel tersebut dirilis oleh New York Times pada Senin (18/5).
Hampir semua atau mungkin memang semua "klien" China mulai mendesak pengampunan utang.
Bulan lalu, Pakistan mendesak China untuk merestrukturisasi miliaran dolar yang telah dipinjamnya. Desakan yang sama juga disampaikan oleh Kirgistan, Srilanka, dan sejumlah negara Afrika. Beberapa di antaranya menunda pembayaran utang, beberapa lainnya bahkan meminta China mengikhlaskan pembayaran yang sudah jatuh tempo pada tahun ini.
Selama dua puluh tahun terakhir, demi melancarkan "Belt and Road Initiatives" (BRI), negeri tirai bambu mengeluarkan pinjaman ratusan miliar dolar untuk negara-negara yang terkait dengan proyek tersebut. Negara-negara tersebut harus menjadikan asetnya sebagai jaminan.
Namun, tanpa ada yang bisa memperkirakan, dunia berputar, keadaan berubah. China menghadapi pilihan yang sulit.
Jika ia merestrukturisasi atau mengikhlaskan pinjaman tersebut, maka sistem keuangannya akan macet sekaligus membuat orang-orang China marah.
Namun jika ia tetap menuntut pembayaran di tengah pandemik Covid-19, citra dan pengaruhnya akan menjadi taruhan. Terlebih, dunia saat ini sudah geram dengan China, di mana virus corona muncul pertama kali dari salah satu kotanya.
Keputusan China untuk terus menekan pembayaran pinjaman bisa memicu meledaknya bom. Semua negara akan menyalahkan China atas pandemik Covid-19. Meski ia berusaha untuk memperbaiki reputasinya dengan menyumbangkan masker hingga peralatan medis.
Penarikan aset pun bukan menjadi pilihan yang mudah di tengah situasi krisis ini.
"China secara politis berada di belakang," ungkap peneliti di German Marshall Fund, Andrew Small.
China sudah bertaruh telalu banyak uang.
Kelompok penelitian Jerman, The Kiel Institute mengungkapkan, China mematok pinjaman untuk negara berkembang sebesar 520 miliar dolar AS, bahkan mungkin bisa lebih. Angka tersebut jauh lebih besar dari pinjaman yang diberikan Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF).
Dengan modal tersebut, China berusaha untuk merealisasikan program ambisius Presiden Xi Jinping. BRI yang bernilai satu triliun dolar AS.
Sejak 2013, China sudah meminjamkan 350 miliar dolar AS kepada negara-negara yang dianggap sebagai debitor berisiko tinggi.
"Penghapusan utang tidak sederhana atau efektif,” ujar pejabat di Kementerian Perdagangan China, Song Wei.
"Apa yang bisa dilakukan CHina untuk membantu adalah menghidupkan kembali proyek-proyek yang didanai oleh pinjaman dan mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan, alih-alih menawarkan dengan mudah penghapusan utang," paparnya.
Namun, apakah orang China bisa bersabar? Saat ini, mungkin mereka mulai mempertanyakan, bagaimana nasib uang hasil jerih payah mereka yang dihamburkan Presiden Xi ke luar negeri?
China adalah negara yang memiliki citra yang sangat kuat. Namun terlepas dari itu, pendapatan rumah tangga mereka kurang dari seperempat di negara maju. Apalagi kondisi tersebut diperburuk dengan wabah.
Lebih dari pada itu, proyek BRI kebanggaan China juga menjadi senjata negara lain untuk menekan China.
Seperti Malaysia yang menekan Beijing untuk mamangkas utangnya dari 16 miliar dolar AS menjadi 11 miliar dolar AS, dengan mempertaruhkan negosiasi BRI.
Sekarang tampaknya China dikeroyok oleh para peminjam uangnya. Mereka bahkan bersatu menyerukan kepada G20 untuk membekukan semua pembayaran utang sampai akhir tahun. []