DEMOKRASI.CO.ID - Rekomendasi Badan Anggaran DPR RI untuk mencetak uang dengan jumlah Rp 600 triliun dalam rangka menyelamatkan ekonomi dari dampak virus corona dipertanyakan publik.
Direktur Habib Rizieq Shihab (HRS) Center, Abdul Chair Ramdhan mengatakan, kebijakan mencetak uang tanpa ada underlying asset yang jelas akan berimplikasi terjadinya laju inflasi dan depresiasi mata uang.
Hal itu sesuai dengan pendapat pakar ekonomi Prof Sadono Sukirno. Menurut Sukirno, inflasi yang terjadi pada umumnya cenderung untuk menurunkan nilai suatu valuta asing.
Inflasi menyebabkan harga-harga di dalam negeri lebih mahal dari harga-harga di luar negeri. Oleh karena itu inflasi cenderung bakal menambah impor.
Kedua, inflasi menyebabkan harga-harga barang ekspor menjadi lebih mahal, dan oleh karenanya inflasi cenderung pula mengurangi ekspor.
Keadaan pertama menyebabkan permintaan valuta asing bertambah. Keadaan kedua, menyebabkan penawaran ke atas valuta asing berkurang.
"Dengan demikian, harga valuta asing akan bertambah. Ini berarti nilai mata uang negara yang mengalami inflasi melorot," terang Abdul Chair Ramadhan mengutip teori Sadono Sukirno kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (19/5).
Selain itu, Abdul juga mengutip teori dari Gregory N. Mankiw yang merupakan ahli ekonomi makro Amerika. Mankiw menjelaskan bahwa tingkat harga yang terjadi di setiap negara tentunya disesuaikan untuk menyeimbangkan jumlah uang yang beredar dan jumlah permintaan uang.
Dikatakan demikian, oleh karena nilai tukar nominal bergantung pada tingkat harga. Nilai tukar tersebut juga bergantung pada persediaan dan permintaan uang di setiap negara. Ketika Bank Sentral meningkatkan jumlah uang yang beredar, maka menyebabkan tingkat harga meningkat.
Kondisi demikian, menyebabkan mata uang negara tersebut terdepresiasi terhadap mata uang lain di dunia. Dengan kata lain, ketika Bank Sentral mencetak uang dalam jumlah banyak, maka uang kehilangan nilainya untuk membeli barang dan jasa, serta untuk membeli mata uang negara lain.
Selain itu, kata Abdul, ekonom Universitas Padjadjaran, Kurniawan mengingatkan, kebijakan mencetak uang akan berdampak sistemik dengan terjadinya penurunan nilai mata uang rupiah dan laju inflasi.
Keberlakuannya, menjadi tidak terkendali. Sebagai catatan, mencetak uang tanpa ada underlying asset pernah terjadi pada 1965. Laju inflasi mencapai lebih dari 500 persen. Hasilnya, ekonomi Indonesia tidak tercatat pulih akibat kebijakan tersebut. Seiring dengan itu, situasi politik semakin tidak menentu.
"Pemerintah seharusnya membatalkan berbagai proyek infrastruktur dan anggaran untuk Ibukota Negara baru. Dengan jumlah yang sangat signifikan dapat digunakan untuk dialokasikan bagi penanganan dampak wabah terhadap ekonomi masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sektor informal," jelas Abdul.
Karena, imbuh Abdul, akan menimbulkan masalah baru dan rakyat akan berdampak bebannya di masa yang akan datang.
Regulasi kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan yang pada awalnya didasarkan pada kedaruratan kesehatan masyarakat akibat pandemik Covid-19 dan dengannya menjadikan sebagai syarat “kegentingan yang memaksa”, telah kehilangan maknanya. Keberadaannya tidak lagi menunjuk pada kepentingan keselamatan jiwa rakyat," beber Abdul.
"Keberlakuannya memang ‘dengan sengaja’ diperuntukkan untuk perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Di dalamnya kepentingan oligarki ekonomi semakin diapresiasi. Refocusing anggaran yang tidak lagi melalui APBN-P 2020, telah menjadikan kekuasaan semakin mendominasi. Seiring dengan itu, fungsi anggaran lembaga legislatif telah dinegasikan," demikian Abdul.(rmol)