DEMOKRASI.CO.ID - Keputusan Presiden Joko Widodo yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan adalah sikap yang tidak menghormati putusan hukum pengadilan.
"Putusan Mahkamah Agung (membatalkan kenaikan BPJS) adalah sesuatu yang harus dihormati, itu tidak diperlihatkan oleh presiden (dengan tetap menaikkan iuran)," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, Rabu (13/5).
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang dimaksud Ray Rangkuti adalah putusan atas perkara 7 P/HUM/2020 yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terhadap Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 72/2019, tentang kenaikan BPJS Kesehatan.
Terdapat dua poin pokok di dalam putusan MA ini. Di mana poin pertama menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya. Antara lain UUD 1945, UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU 36/2009 tentang Kesehatan.
Sementara di poin keduanya disebutkan, MA menyatakan pasal di atas tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
"Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres RI 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Tidak Mempunyai Hukum Mengikat," demikian putusan tersebut.
Dari bunyi poin pokok putusan MA itu, Ray Rangkuti menilai Perpres 64/2020 yang baru-baru ini dikeluarkan Jokowi tidak jauh berbeda substansinya dengan Perpres 75/2019.
"Artinya presiden memberi pelajaran ke masyarakat kita bahwa putusan pengadilan tidak harus dihormati banget. Cari saja celahnya, nanti dimainkan lagi. Itu enggak bagus," tuturnya.
"Sebagai presiden harusnya dia memberikan pelajaran ke masyarakat, bahwa semua orang harus taat dan patuh kepada putusan pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Agung meskipun putusan itu tidak menguntungkan dia," tutupnya. []