DEMOKRASI.CO.ID - Tugas Mahkamah Konstitusi (MK) telah terang benderang termaktub dalam pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Disebutkan bahwa tugas MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Begitu tegas Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule yang mengurai alasan tidak ikut menggugat Perppu 1/2020 ke MK. Adapun perppu tersebut kini sudah disahkan oleh DPR dan tinggal diberi nomor untuk masuk lembaran negara.
“Elaborasi lebih lanjut tentang MK diatur dalam UU 24/2003,” sambungnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (17/5).
Iwan Sumule menjelaskan bahwa posisi MK adalah negative legislator. MK adalah ibarat malaikat pencabut nyawa, sekali pedang terhunus harus meninggalkan jejak. Kewenangannya sangat besar mengikat ke dalam dan ke luar pihak yang berperkara (erga omnes), seketika serta final.
Karena itu, wewenang MK khususnya terkait pengujian UU sangat limitatif, menguji konstitusional suatu norma atau bagian dari UU terhadap UUD.
“MK tidak boleh membuat norma baru. Itu adalah tugas Pemerintah dan Parlemen. MK adalah bagian dari kekuasaan kehakiman,” terangnya.
Sementara Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU (Perppu) adalah peraturan pemerintah. Demikian bunyi pasal 22 UUD 1945. Pasal 22 ayat 3 menyebutkan bahwa jika Perppu tidak disetujui oleh DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
“Tidak ada mandat dan kewenangan MK untuk memperluas penafsirannya hingga menganggap peraturan pemerintah sama dengan UU,” sambung ketua DPP Partai Gerindra itu.
Adapun lembaga yang diberi kewenangan untuk menyetujui (atau tidak menyetujui) Perppu adalah DPR. Sedangkan MK tidak boleh mengambil alih kewenangan DPR. Jika dilakukan, maka itu akan menjadi inkonstitusional.
“Itu juga akan mengacaukan sistem presidensial dan mekanisme check and balance antara DPR dengan lembaga kepresidenan,” terangnya.
Hal yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengenai pengajuan permohonan pengujian (judicial review) atas suatu Perppu. Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman, hakim memang tidak boleh menolak perkara. Namun demikian, pengadilan dalam pemeriksaan awal dapat menolak perkara tersebut, dengan alasan bukan kompetensinya.
“Kompetensi absolut lingkungan peradilan MK hanya untuk menguji konsititusionalitas suatu UU atau bagian UU terhadap UUD,” sambung.
Atas pertimbangan itu semua, ProDEM bersabar tidak melayangkan gugatan atas Perppu 1/2020 ke MK. ProDEM memilih melakukan aksi ke Gedung DPR RI untuk mendesak DPR RI untuk menolak Perppu Corona karena kewenangan memang ada di DPR RI.
“ProDEM akan menggugat ke MK setelah ada nomor UU dari Perppu 1/2020 yang disetujui DPR-RI tersebut,” demikian Iwan Sumule. (Rmol)