DEMOKRASI.CO.ID - Belum pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia sebuah virus yang menyebar begitu cepat dan agresif ke lebih dari 200 negara hanya dalam waktu kurang lebih empat bulan sejak kemunculan pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, pada akhir November 2019.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terpapar oleh virus corona. Sejak pertama kali virus tersebut terdeteksi pada 2 Maret 2020 lalu dan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, angka kasus wabah virus menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
Direktur Program dan Riset di The Habibie Center, Mohammad Hasan Ansori, menyoroti kurva angka kasus Covid-19 yang sama sekali belum menunjukkan kecenderungan menurun sejak saat itu.
Sementara, berbagai sumber baik dari dalam maupun luar negeri, telah memprediksi angka kasus Covid-19 di Indonesia akan mencapai puluhan bahkan ratusan ribu.
"Kemampuan, kecepatan, dan efektivitas respons pemerintah Indonesia yang buruk dan lambat serta pengambilan keputusan yang dinilai penuh dengan keragu-raguan dianggap bertanggung jawab dalam tingginya angka kasus tersebut," ungkap Ansori, lewat keterangan tertulisnya, Senin (6/4).
Setiap bencana, termasuk wabah virus corona ini, memberikan kesempatan untuk dikaji dari berbagai aspek dan disiplin keilmuan. Mestinya tak hanya dikaji tetapi juga menawarkan solusi kebijakan alternatif untuk penanganan wabah virus tersebut di Indonesia.
"Dalam ranah ilmu sosial, berbagai aspek proses dan struktur sosial serta organisasi sosial dapat menjadi kajian dan opsi kebijakan tersendiri," papar Ansori.
Ia mengupas kutipan dari Max Weber, salah satu pendiri ilmu sosial yang telah memberikan landasan kuat atau kerangka analisis menarik, untuk melihat bencana wabah virus corona dari aspek ketidakseimbangan struktural (structured inequalities) terkait kelas, status, dan kekuasaan.
Weber sendiri telah memberikan kerangka analisis kelas yang banyak dijadikan referensi saat ini, dengan membagi kelas menjadi tiga bagian yaitu bawah (lower class), menengah (middle class), dan atas (upper class) yang digambarkan secara proporsional dalam bentuk kurva segitiga.
Kategorisasi kelas secara struktural pada umumnya merujuk pada basis perbedaan kekayaan atau pendapatan personal.
Sebagaimana ciri khas negara berkembang, struktur sosial-ekonomi penduduk Indonesia masih didominasi oleh kelas bawah.
Ansori merujuk kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati yang menegaskan bahwa jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mencapai 60 juta orang pada tahun 2019 dan dapat meningkat menjadi 85 juta orang pada tahun ini.
Secara teoritis, jika merujuk pada kurva segitiga kelas sosial, jumlah kelas bawah bisa jadi hampir dua kali lipat dari angka tersebut.
"Bahkan menurut Bank Dunia (2020), komposisi dan proporsi kelas di Indonesia terdiri dari kelas bawah (79 persen), kelas menengah (20 persen) dan kelas atas (kurang dari 1 persen).
Virus corona dapat menyerang siapa pun tanpa mempedulikan batas kelas sosial, suku, dan agama. Namun, masyarakat kelas bawah merupakan kelompok yang paling rentan dan beresiko.
"Cepat atau lambat, jika tidak ditangani dengan tepat dan efisien, virus ini akan menyasar secara masif kepada masyarakat kelas bawah Indonesia yang merupakan mayoritas," urai Ansori.
Masyarakat kelas bawah lebih rentan karena tidak memiliki ketahanan sosial yang lebih baik, menurut Ansori. Masyarakat kelas bawah juga yang akan merasakan dampak terbesar ditambah jumlahnya yang dominan di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
"Kondisi ini dapat menjadi berkepanjangan jika merujuk pada masa trauma pasca bencana (post-disaster trauma). Akan tetapi, sejauh ini belum ada data-data yang menggambarkan variabel sosial-ekonomi para pasien yang terpapar virus corona," kata Ansori.
Data resmi menunjukkan DKI Jakarta sebagai provinsi yang paling banyak memiliki kasus positif Covid-19, dengan persentase sekitar 50 persen lebih banyak dari jumlah kasus di provinsi lainnya, hanya menggambarkan variabel gender dan usia para pasien.
Pemerintah perlu mengetahui data ini untuk mengidentifikasi bantuan apa yang dapat didistribusikan dan kepada siapa bantuan tersebut diberikan.
Ansori menyayangkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diserukan pemerintah sebagai mitigasi wabah virus ini, masih belum jelas penerapannya.
Diharapkan menjadi solusi, PSBB serta pembatasan pergerakan masyarakat malah berdampak secara masif terhadap ekonomi masyarakat kelas bawah, terutama pekerja di sektor informal dan/atau pekerja harian.
"Dalam hal ini, tidak keluar rumah (stay home) dapat memiliki makna dan konsekuensi yang berbeda untuk setiap kelas. Bagi masyarakat kelas bawah, tidak keluar rumah berarti tidak bisa makan pada hari tersebut," tegas Ansori.
Pemerintah harus secara cepat dan tanggap memberikan prioritas kebijakan ketahanan pangan untuk masyarakat kelas bawah.
"Termasuk kebijakan untuk memberikan bantuan makanan, keringanan berbagai pengeluaran rumah tangga, khususnya tarif listrik dan air, akses kesehatan yang lebih mudah, hingga mempertahankan pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau," ujar Ansori.
Jika tidak dilakukan secepatnya, dalam hitungan hari, akan banyak di antara masyarakat kelas bawah yang jatuh pada kemiskinan ekstrem. [rm]