OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
APAKAH kalian semua tahu siapa Joseph Ernest Renan? Begitu, Romo Ageng mengawali khotbahnya.
Mungkin orang lebih biasa dengan sebutan Ernest Renan, tidak pakai Joseph. Ernest Renan (1823-1892), seorang sastrawan, filolog, filsuf, dan sejarawan dari Perancis.
Tokoh inilah yang disebut-sebut Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, saat pidato; pidato yang mengiringi lahirnya Pancasila.
Dengan mengutip pendapat Renan, Bung Karno mengatakan: syaratnya bangsa adalah ‘kehendak untuk bersatu.’ Renan menyebutnya, le desir d’etre ensemble.
Sebab, bangsa adalah satu jiwa, une nation est un ame. Selain itu, une nation est un grand solidarité, satu bangsa adalah satu solidariteit (rasa kesetiakawanan) yang besar (Daniel Dhakidae, ed. dalam HS Dillon dan Idham Samudra Bey: 2013).
Niat dan semangat untuk bersatu itu, sudah lama muncul. Meskipun, pada mulanya masih terkungkung dalam komunitas-komunitas berbasis etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris (Yudi Latif: 2011).
Pada tahun 1928, terjadi terobosan besar. Ketika itu, kaum muda melepaskan belenggu etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris dengan penuh kesadaran. Mereka menemukan komitmen kebangsaan baru: Kebangsaan Indonesia. Pendek kata, komitmen kebangsaan inilah yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.
Para pemuda bersumpah, menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yakni Indonesia.
Ketika itu, mereka--tak peduli dari masa asalnya, sukunya apa, etnisnya apa, agamanya apa, bahasanya apa, warna kulitnya apa, tak peduli jenis gendernya, bentuk rambutnya apa, dan aneka perbedaan lain -- bersatu padu, mengikrarkan diri menjadi satu. Benar yang dikatakan oleh Renan bahwa adanya le desir d’etre ensemble, kehendak untuk bersatu, yang telah melahirkan bangsa ini.
Jauh waktu sebelumnya di negeri ini, sudah dirumuskan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma sebagai Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharmma Mangrwa, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. “Semua kebenaran adalah satu, semua realitas adalah satu,” begitu kata Bunda Theresa.
Dan, ‘le desir d’etre ensemble, memuncak pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 dan penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara. Peristiwa ini merupakan momentum yang paling penting dan bersejarah karena merupakan titik balik dari negara yang terjajah menjadi negara yang merdeka. Inilah wujud dari komitmen kebangsaan. Bangsa dan Negara Indonesia, LAHIR!!!
Kehendak untuk bersatu itu, telah mempertemukan nilai-nilai, kepentingan, dan cita-cita bersama serta menyingkirkan kepentingan-kepentingan bernuansa kesukuan, keetnisan, keagamaan, kebudayaan, kedaerahan, dan sebagainya yang memecah-belah. Semua menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi negara.
Kini kebersamaan sebagai bangsa dan negara, yang sudah dibangun para Bapak Bangsa sedang diuji dengan adanya pandemi Covid-19.
Di tengah ujian itu, muncul pertanyaan, apakah ingatan bersama atau ada yang menyebutnya sebagai ingatan kolektif tentang bagaimana bangsa ini “bersatu kata, bersatu kehendak, bersatu niat, bersatu tekad, dan bersatu cita-cita” untuk mendirikan satu negara, sudah hilang atau masih hidup dan masih kuat atau sebaliknya?
Ingatan bersama atau ingatan kolektif, secara mudah dapat diartikan sebagai hubungan antara keadaan di masa sekarang, dan ingatan atas masa lalu.
Memang ada yang mengatakan, “ah, semua itu adalah masa lalu.” Memang, ingatan bersama adalah ingatan akan masa lalu. Dan, itu berarti sudah berlalu. Benar, sudah berlalu.
Akan tetapi, harus diakui yang sudah berlalu itu tetap hidup sebagai jejak-jejak peristiwa sejarah bangsa ini yang tidak boleh dilupakan atau dihapus begitu saja. Historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, et nuntia vetustatis, sejarah adalah saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa lalu.
Tetapi, harus diakui bahwa di saat kesatuan, kebersatuan, dan semangat kebangsaan ini tengah menghadapi tantangan berat dan sulit sekarang ini, tetap masih ada yang mencari untung sendiri, yang memanfaatkan situasi kegawatan untuk kepentingan diri atau kelompoknya, atau golongannya atau partainya.
Mereka tidak menghargai daya-upaya berbagai pihak, berbagai kalangan, berbagai strata masyarakat yang terus berusaha menumbuhkan kebersatuan, kebersamaan dalam menghadapi situasi kritis. Mereka mengabaikan atau bahkan tidak mempedulikan aturan-aturan yang merupakan kebijakan politik pemerintah untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran karena meluasnya pandemi Covid-19.
Bahkan, mereka berusaha mencari-cari kesalahan, kelemahan pihak lain -- terutama pemerintah -- dan meneriakkan keras-keras, bukan sebaliknya, mendukung untuk bersama-sama mengatasi persoalan. Mereka lupa bahwa seperti pepatah mengatakan, bonum quod est supprimitur, numquam extinguitur, apa yang baik bisa ditekan tetapi tidak akan lenyap.
Setelah mengatakan itu, Romo Ageng diam. Ia memejamkan matanya. Menarik napas panjang. Lalu, ia berdiri dari tempat duduknya. Melangkah pelan-pelan sambil menundukkan kepala, menuju ke sebuah kamar khusus.
Romo Ageng pernah bercerita bahwa di kamar itulah, menurut bahasanya, ia “menghilangkah aku untuk menemukan Sang AKU.”
Persis sebelum memasuki kamar itu, samar-samar Romo Ageng, berguman sangat lirih seperti berbisik pada diri sendiri, “Sun réwangi apati geni, manjing in Alas Ketangga,” aku rela untuk tidak makan tidak minum, masuk dan mendengarkan getaran hati dan jiwa; untuk mencari Sang AKU.
Seperti Renan dan Bung Karno yang meyakini, syaratanya bangsa adalah le desir d’etre ensemble, Romo Ageng juga yakin bahwa Sang AKU, setiap waktu akan hadir.
Hadir dan mengulurkan tangan-Nya untuk menyelamatkan bangsa ini, yang sudah berjuang keras “Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta Dur Hangkara”, Memelihara Kedamaian Bumi, Memberantas Angkara Murka” dalam segala macam bentuk dan rupanya.
(Penulis adalah wartawan senior. )