DEMOKRASI.CO.ID - Program kartu prakerja bagi korban PHK dampak COVID-19 dinilai tidak tepat dan bukan prioritas di tengah wabah Corona seperti sekarang ini. Sebaiknya anggaran pelatihan online Rp 1 juta per orang dalam program kartu prakerja dialihkan sebagai bantuan langsung.
Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya menilai pelatihan tersebut harus dimodifikasi atau bila perlu dicoret sementara. Menurutnya, saat ini para penggangguran atau tunakarya, baik yang terdampak COVID-19 atau tidak, berada dalam kondisi kekurangan. Ia khawatir para penerima kartu tersebut tak bisa menerima manfaat secara maksimal.
"Sehingga aset mereka, seperti smartphone, biasanya telah mereka gadaikan atau jual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Kalau pun tidak, mereka tak akan sanggup membeli pulsa yang cukup karena uang yang ada telah dialihkan untuk kebutuhan lainnya yang lebih prioritas," ujar pria yang akrab disapa Gus Ahad itu, Senin (20/4).
Oleh karena itu, pemberian program pelatihan online tidak lagi efektif. Hal ini pun pernah ia sampaikan dalam rapat pimpinan di DPRD Jabar.
"Dalam forum tersebut saya menyampaikan agar Pemerintah Daerah Provinsi Jabar segera mengirimkan surat kepada presiden RI atau kementerian terkait. Tujuannya agar pelatihan online pada paket prakerja untuk Jawa Barat sementara dicoret dulu," ucapnya.
Dana untuk pelatihan itu, ujar Gus Ahad, sebaiknya dialihkan kepada masyarakat lainnya yang belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. "Kita realistis aja. First thing first, yang paling penting sekarang harus kita utamakan terlebih dahulu," ujarnya.
Dibandingkan pelatihan online yang kurang efektif, menurutnya saat ini masyarakat membutuhkan uang tunai agar bisa melewati masa krisis karena pandemi ini.
"Dengan adanya Rp 1 juta yang seharusnya digunakan untuk pelatihan online, minimal bisa menyelamatkan dua keluarga apabila masing-masing mendapatkan Rp 500 ribu," kata Gus Ahad.
Hal sama dikatakan Ketua Asosiasi Bussiness Development Services Indonesia (ABDSI) Korwil Jabar Siti Nur Maftuhah. Menurutnya pelatihan online ini tidak efektif, terlebih bagi korban PHK gegara pandemi COVID-19.
"Korban PHK sudah mempunyai skill dan knowledge, sehingga kami berpikir kalau program itu harus dibedakan. Kalau kita lihat tujuannya korban PHK secara formal pernah bekerja di industri, tentunya mereka punya pemikiran untuk tetap bekerja, walau di industri yang lain, jadi yang dibutuhkan bukan hanya skill, tapi sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa pekerja tersebut kompeten," kata Siti saat dihubungi detikcom secara terpisah, Senin (20/4/2020).
Tim dari ABDSI pun melihat, sejauh ini jenis pelatihan yang diberikan terlalu mendasar dan banyak kaitannya dengan aspek digital. ""Kami terkejut, (materi) latihan tidak memberikan nilai tambah bagi pekerja. Saya sayangkan pelatihan yang ada sudah dilakukan oleh banyak komunitas di Jabar, banyak sekali komunitas yang memberikan pelatihan tadi dengan tidak berbayar," katanya.
Selain itu, pelatihan online ini juga kemungkinan sulit untuk dijangkau oleh beberapa kalangan. Pasalnya, karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, sehingga prioritas diberikan untuk menyambung kehidupan, daripada membeli kuota internet untuk mengakses pelatihan.
"TIdak semua orang bisa beli kuota, di satu sisi harus ikut pelatihan berbayar, di sisi lainnya membutuhkan uang untuk keutuhan hidup, mungkin solusinya pemerintah harus menyediakan kuota bagi masyarakat," katanya.
"Kemudian saran dari kami, pelatihan diberikan terpisah kepada fresh graduate dan korban PHK. Apalagi sekarang ada perluasan UMKM, sebetulnya kalau UMKM lebih baik diberikan modal," katanya.(dtk)